Warning: mysqli_query(): (HY000/1114): The table '(temporary)' is full in /home/u6998656/public_html/wp-includes/class-wpdb.php on line 2345

Di era dimana teknologi berkembang dengan kecepatan luar biasa, ada satu strategi bisnis yang kerap luput dari perhatian kita: planned obsolescence. Istilah ini merujuk pada praktik di mana produk dirancang dengan sengaja memiliki umur pakai terbatas, sehingga konsumen “terpaksa” menggantinya dalam waktu singkat. Meski sering dikaitkan dengan industri fast fashion, praktik ini juga marak terjadi di dunia gadget, khususnya smartphone atau ponsel pintar (HP).
Salah satu contoh paling nyata dari praktik ini adalah baterai yang cepat rusak dan tidak bisa diperbaiki sendiri. Banyak ponsel modern dirancang dengan baterai yang sulit diganti atau bahkan disegel rapat. Ketika baterai mulai melemah, pilihan satu-satunya adalah membawa ke service center — yang seringkali mahal — atau membeli ponsel baru. Hal ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan bagian dari strategi untuk memastikan kita terus kembali ke pasar.
Selain baterai, komponen hardware yang sulit didapatkan dan memiliki harga yang cukup tinggi juga menjadi masalah besar. Ketika layar ponsel retak atau kamera bermasalah, maka mencari suku cadang asli bisa menjadi sebuah mimpi buruk. Beberapa produsen bahkan sengaja membatasi ketersediaan spare part, sehingga memperpanjang proses perbaikan dan membuat konsumen berpikir dua kali: lebih baik memperbaiki atau membeli yang baru?
Dukungan software yang terbatas juga bisa menjadi isu signifikan. Ponsel yang kita beli hari ini mungkin hanya akan mendapatkan update sistem operasi selama 1-2 tahun. Setelah itu, meskipun ponsel masih berfungsi, tanpa update keamanan dan fitur terbaru, performanya akan semakin tertinggal. Alhasil, kita merasa “terpaksa” untuk melakukan upgrade ke model smartphone terbaru, meski ponsel lama sebenarnya masih cukup baik.
Manipulasi marketing dan iklan juga memainkan peran besar dalam planned obsolescence. Iklan-iklan yang menggoda, promosi besar-besaran, dan kampanye “fear of missing out” (FOMO) membuat kita merasa bahwa ponsel yang kita gunakan sudah ketinggalan zaman. Padahal, mungkin saja ponsel tersebut masih mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, siapa yang bisa menolak godaan fitur kamera terbaru atau desain yang lebih stylish?
Praktik planned obsolescence mungkin menguntungkan bagi produsen, tetapi bagi konsumen, ini adalah praktik yang merugikan. Kita tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga berkontribusi pada masalah lingkungan akibat limbah elektronik yang semakin menumpuk. Jadi, sebelum tergoda untuk membeli ponsel baru, mungkin sudah saatnya kita lebih kritis dan mempertanyakan: apakah ponsel kita benar-benar sudah “kedaluwarsa,” atau kita hanya terjebak dalam strategi bisnis yang dirancang untuk membuat kita terus konsumtif?
Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan dari limbah elektronik dan praktik konsumsi berlebihan, penting bagi konsumen untuk lebih bijak dalam memilih produk dan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan pembelian.
Artikel dari Bizsense Indonesia