Warning: mysqli_query(): (HY000/1114): The table '(temporary)' is full in /home/u6998656/public_html/wp-includes/class-wpdb.php on line 2345
Jakarta, 21 Desember 2023 – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang Pengujian materiil UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab UU Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara terhadap UUD 1945 pada Kamis (21/03), pukul 10.00 WIB dengan agenda Pengucapan Putusan. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 78/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). norma yang diujikan adalah Pasal 15 dan Pasal 15 UU No 1/1946 juncto UU No. 4/1976 juncto UU No. 27/1999, Pasal 310 ayat (1) KUHP dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU No. 19/2016.
Dalam sidang Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon (28/11), Afrizal sebagai Ahli Pemohon menyatakan Konsekuensi suatu perbuatan yang disadari dapat berbeda dari tujuan perbuatan. Karenanya, komunikasi (berita/kabar/pesan) yang dapat memancing keributan atau huru-hara adalah yang pesannya berpotensi memotivasi orang untuk melakukan tindakan keributan atau huru-hara.
Afrizal yang merupakan Dosen Program Studi Doktor Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, mengatakan dorongan atau keinginan dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan tersebut merupakan konsekuensi dari pesan tersebut. Sebelumnya, seseorang tidak memikirkan atau tidak menginginkan untuk melakukan tindakan tersebut. Dalam literatur gerakan sosial, berita/kabar/pesan menyediakan framing (pembingkaian) bagi orang digunakan untuk melabel atau menafsirkan realitas. Berita/kabar/pesan yang dapat memancing tindakan keributan atau huru-hara adalah yang telah digunakan oleh orang sebagai framing. Menurutnya, ketiga pasal tersebut berpotensi sebagai ancaman terhadap kebebasan menyampaikan ekspresi oleh utamanya akademisi dan aktivis, menggerogoti demokrasi di Indonesia. Sehingga ia mengusulkan ketiga pasal tersebut dicabut.
Ahli Pemohon berikutnya, Hesti Armiwulan Sochmawardiah mengatakan, di satu sisi hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia, di sisi yang lain, negara adalah entitas yang diharapkan hadir untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Dari sejarah perjuangan hak asasi manusia secara tegas terlihat bahwa persoalan hak asasi manusia adalah persoalan antara individu yang mempunyai kekuasaan dengan individu yang tidak mempunyai kekuasaan. Persoalan hak asasi manusia adalah persoalan ketimpangan relasi kekuasaan.
Hesti menuturkan, setiap negara hukum harus menjamin dalam peraturan perundang-undangan termasuk implementasi dari peraturan perundang-undangan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan memastikan adanya sanksi hukum jika ada yang melanggar. Dengan kata lain bahwa hukum pada hakikatnya adalah jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pada sidang Mendengarkan Keterangan Ahli sebelumnya (31/01) lalu, ahli dari Pemohon Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, MK dan Pemerintah sering kali menggunakan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai tolak ukur untuk meninjau pertentangan norma tersebut. Namun, terdapat kekurangan dalam penjelasan spesifik mengenai prinsip-prinsip pembatasan yang terdapat dalam pasal tersebut. Yance mengidentifikasi lima prinsip atau tolak ukur yang ada dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, meliputi jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. (FF)