Industri manufaktur di tanah air mulai menunjukkan geliatnya pada Juni 2020. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers’ Index™ (PMI™) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh IHS Markit. Pada bulan keenam tahun ini, PMI manufaktur Indonesia menempati level 39,1 atau mengalami kenaikan hingga 10 poin dibanding bulan Mei yang berada di angka 28,6.
“Kami optimistis kinerja industri manufaktur nasional bisa bangkit kembali ketika nanti sudah beroperasi secara normal, sehingga juga dapat memulihkan lebih cepat pertumbuhan ekonomi,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Kamis (2/7).
Menperin menjelaskan, salah satu alasan mulai bergairahnya sektor industri di dalam negeri karena adanya sejumlah kebijakan pemerintah yang probisnis, seperti pemberian insentif fiskal. Selain itu, didukung dengan aturan new normal yang ikut mendorong konsumsi domestik.
“Di era new normal, mengubah perilaku belanja masyarakat yang juga berdampak pada percepatan transformasi digital bisnis, termasuk pada sektor industri kecil menengah (IKM),” ujarnya. Berdasarkan data Bank Indonesia, terjadi lonjakan transaksi perdagangan daring sebesar 18,1 persen hingga 98,3 juta transaksi pada bulan Maret 2020 dengan nilai total transaksi meningkat 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun.
“Penjualan secara online memudahkan pemasaran hasil industri Indonesia yang sekaligus berguna untuk merevitalisasi IKM menuju industri 4.0,” ungkap Agus. Bahkan, saat ini menjadi momentum yang tepat untuk menggulirkan kebangkitan manufaktur Indonesia. Sebab, selama tiga bulan terakhir atau sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, manufaktur belajar untuk lebih efektif dan efisien.
“Oleh karenanya, kami terus memacu industri manufaktur untuk lebih berinovasi, sehingga mampu menghasilkan produk yang berdaya saing global,” imbuhnya. Hal ini sejalan dengan program prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0.
Menurut Menperin, inisiatif Making Indonesia 4.0 bertujuan untuk mentranformasi seluruh sektor, terutama industri, dengan memanfaatkan teknologi digital. Aspirasinya besarnya adalah mewujudkan Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030.
“Inisiatif itu sudah masuk ke major project dalam RPJMN 2020–2024, sehingga kami percaya bahwa Indonesia memiliki potensi tambahan PDB yang signifikan dari ekonomi digital, dengan proyeksi mencapai USD155 miliar pada 2025,” paparnya.
Awalnya, implementasi Making Indonesia 4.0 menitikberatkan pada lima sektor, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, serta elektronik. Kelima sektor ini dianggap mewakili industri secara keseluruhan.
Namun demikian, Kemenperin ingin menambah dua sektor lagi sebagai pionir, yakni industri farmasi dan alat kesehatan. Sebab, saat ini sektor tersebut sedang mengalami permintaan tinggi, mengingat produk-produknya sedang dibutuhkan di tengah pandemi virus korona. Untuk itu, Menperin meminta kesiapan industrinya dengan ditopang ketersediaan SDM yang kompeten, selain penerapan teknologi modern.
“Ada yang menganggap, digitalisasi itu akan mematikan tenaga kerja. Namun sebaliknya, studi kami memperkirakan akan ada penambahan tenaga kerja yang cukup signifikan ketika sektor industri bisa mendorong digitalisasi,” tandasnya.
Terkait PMI manufaktur Indonesia pada Juni 2020, menurut laporan IHS Markit, kelonggaran tindakan pencegahan Covid-19 di Indonesia cukup membantu memulihkan sektor manufaktur, tetapi tidak cukup untuk membendung penurunan lebih lanjut dalam produksi.
“Dengan ekspektasi kelonggaran PSBB lebih lanjut dan kembali ke normal, sentimen bisnis naik tajam ke level tertinggi sejak bulan Januari sebelum pandemi meningkat, karena perusahaan umumnya mengharapkan output naik pada tahun mendatang,” ungkap Kepala Ekonom IHS Markit, Bernard Aw.