Jakarta (30/06) Eksploitasi seksual anak online terindikasi semakin merebak di masa pandemi Covid-19. Berdasarkan laporan National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) pada April 2020, jumlah eksploitasi seksual anak mencapai 4,2 juta. Jumlah ini meningkat 2 (dua) juta dalam sebulan dari laporan pada Maret 2020. Selama masa pandemi, intensitas gawai pada anak memang meningkat, terutama untuk mengakses media sosial ketika mereka merasa jenuh di rumah. Namun, masih banyak anak yang tidak sadar bahwa ada predator seksual anak yang mengintai mereka.
“Masih banyak anak-anak yang tidak mengetahui konsekuensi berbahaya pada media sosial. Anak harus sadar ketika mereka mengakses media sosial, kemungkinan ada predator seksual anak yang mengintai dan menyasar mereka untuk melakukan hal-hal berbahaya. Mereka mendekati anak-anak melalui pesan langsung (direct message) di media sosial. Sayangnya, anak-anak juga tidak tahu bagaimana caranya melindungi diri mereka dari predator seksual anak di media sosial. Kami berharap, anak-anak dapat bekerjasama dengan orangtuanya untuk menggunakan parenting control dan melakukan kesepakatan terkait penggunaan media sosial. Parenting control dan kesepakatan dengan orangtua tidak terbatas pada penggunaan media sosial, tapi penggunaan gawai secara umum, termasuk akses aplikasi media sosial, game online, dan materi-materi online lainnya di internet. Kami berharap anak-anak mampu menjadi netizen unggul,” terang Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ciput Eka Purwianti pada Webinar Series Internet Aman untuk Anak Batch 3 (tiga) yang diikuti oleh sekitar 120 anak dari beberapa wilayah di Indonesia.
Koordinator Advokasi dan Layanan Hukum ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking Of Children For Sexual Purposes) Indonesia, Rio Hendra mengatakan meningkatnya intensitas anak dalam menggunakan media sosial selama pandemi membuka peluang bagi pelaku kekerasan untuk melakukan grooming sebagai tujuan seksual.
“Grooming merupakan salah satu bentuk eksploitasi seksual anak online. Tahapan grooming untuk tujuan seksual berawal ketika oknum mencari anak yang rentan dan mengumpulkan informasi. Lalu, mereka membangun komunikasi dengan anak tersebut. Selanjutnya, ketika anak sudah merasa nyaman dengan oknum tersebut, mereka melakukan perjanjian dengan anak tersebut, sehingga anak menjadi tertutup dengan lingkungan sekitarnya, dan hanya berkomunikasi secara menyendiri dengan oknum tersebut (fase rahasia dan isolasi). Lalu, secara bertahap oknum meningkatkan komunikasinya ke arah seksual,” ujar Rio.
Rio juga memberikan tips agar anak terhindar dari grooming. Pertama, anak diharapkan mampu mengatakan “Tidak” apabila diminta atau diajak dalam situasi yang dapat diindikasikan grooming. Kedua, keluar dari grup atau lingkungan yang membuat mereka terjebak dalam situasi tersebut. Lalu, diharapkan anak mampu menceritakan hal tersebut kepada orang yang mereka percayai ketika mereka atau temannya menghadapi situasi tersebut.
Selain menyebabkan adanya eksploitasi seksual online pada anak, sifat tanpa batas pada internet juga membuka peluang terhadap terjadinya cyberbullying. Founder Yayasan SEJIWA, Diena Haryana berharap agar anak-anak, sebagai netizen unggul mampu memberikan semangat terhadap temannya yang menjadi korban cyberbullying, karena dampak paling parah pada cyberbullying adalah menyebabkan bunuh diri.
“Cyberbullying seperti virus, awalnya hanya 1 (satu) orang yang tidak suka terhadap target bullying, dan akhirnya ia mengajak orang lain untuk ikut membenci dan mengintimidasi target tersebut. Cyberbullying terjadi apabila sudah ada orang yang merasa tersakiti, terluka, dipermalukan, dan merasa sedih. Anak-anak diharapkan menjadi netizen unggul yang juga memiliki empati terhadap teman-temannya. Tidak menyakiti orang lain melalui cyberbullying, bahkan mampu memberikan semangat dan mendampingi teman-temannya yang menjadi korban cyberbullying,” tutur Diena.