
Jakarta, 24 Juni 2020. Sebagai institusi pembina kegiatan penelitian di Indonesia, LIPI menyikapi kegiatan riset di masa pandemi COVID-19 dengan melakukan transformasi pengumpulan data secara daring. “Pengumpulan data berbasis pendekatan digital dalam penelitian sosial-humaniora hingga saat ini menjadi alternatif terbaik ditengah pandemi COVID-19,” jelas Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti.
Dirinya menjelaskan, ukungan infrastruktur teknologi dan komunikasi, logistik dan pembiayaan masih dibutuhkan demi mewujudkan keterjangkauan dan keterwakilan obyek dan tujuan penelitian.
Menurut Nuke, klirens etik penelitian menjadi instrumen kunci untuk mengukur keberterimaan secara etik dalam proses penelitian meski ada transformasi dalam kegiatan penelitian terkait adanya pandemi COVID-19 tersebut. “Klirens etik akan melindungi subyek penelitian atau responden dari bahaya fisik, psikis, sosial, dan konsekuensi hukum sebagai akibat turut berpartisipasi dalam suatu penelitian,” terang Nuke.
Dirinya menjelaskan, status apakah suatu penelitian memerlukan atau dikecualikan dari proses klirens etik diputuskan oleh Komisi Klirens Etik, bukan oleh peneliti atau lembaga lainnya.
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Jogaswara mengatakan peran Komisi Klirens Etik dalam penelitian sangat penting dalam menjaga kaidah-kaidah akademis sehingga kegiatan riset dapat terus berlangsung dan tetap mempertahankan signifikasi ilmiah. “Sangat tidak etis kalau penelitian dilakukan dalam suasana pandemi kalau tidak memenuhi klirens etik,” ujar Herry.
Dirinya menjelaskan platform on-line seperti Zoom, Webex, atau Googleform sangat rasional digunakan dalam kegiatan penelitian meskipun secara statistik harus lebih diperhatikan dari sisi validitas dan realibilitas.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Bachtiar Rifai mengatakan metode pengumpulan data tanpa tatap muka bukan hal baru di ranah penelitian sosial humaniora. “Dimulai tahun 1990 dengan pergeseran publikasi cetak ke publikasi digital seperti open-access repositories. Kemudian dengan penggunaan survei berbasis daring untuk pengumpulan data primer dan retrievingdata melalui Big Data,” terang Bachtiar.
Dirinya menjelaskan, pada tahun 2001 dirintis pelaksanaan penelitian etnografi berbasis internet, kemudian penggunaan platform-platform survei berbasis daring seperti SurveyMonkey atau Googleform. “Inovasi instrumen-instrumen riset berbasis internet terus berkembang pesat. Hal ini sangat membantu peneliti untuk riset berskala besar dalam waktu singkat dan lokasi yang sulit dijangkau peneliti kalau melalui tatap muka,” ujar Bachtiar.
Bachtiar mengungkapkan, meski dinilai membantu namun pengumpulan data berbasis daring ini menyisakan dilemma secara epistimologi apakah kegiatan pengumpulan data mampu diterima secara prinsip dasar ilmiah penelitian. “Selain itu muncul kekhawatiran bila tidak mampu menangkap fenomena-fenomena sosial selayaknya penelitian yang bersifat pengamatan secara langsung yang terlibat dengan obyek penelitian. Perlu dilakukan seleksi instrumen penelitian berbasis on-line yang dapat diterima secara akademis,” tutupnya.