Selama masa PSBB, polusi udara di Jakarta diklaim mengalami penurunan. Greenpeace mengamati dan menganalisis data PM 2.5 yang diambil dari dua stasiun pemantauan kualitas udara di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.
Kondisi pandemi covid-19 di Jakarta membuat banyak kantor yang memberlakukan kebijakan Kerja Dari Rumah (Working From Home) sejak 14 Maret 2020. Greenpeace mencatat ada lima Hari dalam Kategori tidak sehat di Jakarta Selatan khususnya, pada masa awal Kerja Dari Rumah ini (14 Maret – 9 April 2020). Tidak ada Hari dengan kondisi udara Baik (Sehat) di masa ini di Jakarta selatan maupun Jakarta Pusat.
Sedangkan selama penerapan PSBB, kualitas udara di Jakarta tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Terhitung sejak 10 April – 4 Juni 2020, tingkat konsentrasi PM 2.5 berada pada kategori Moderate dan Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif. Bahkan di Jakarta Selatan ada 24 hari tidak sehat. Jika diamati data rata-rata setiap jamnya seringkali terjadi peningkatan level PM 2.5 pada malam hari.
Lantas, bagaimana dengan kualitas udara setelah masuk masa PSBB transisi? Pada 5 – 16 Juni 2020, terjadi peningkatan konsentrasi PM 2.5 di DKI Jakarta. Bahkan menurut data AQI Air Visual, Jakarta kembali menduduki peringkat lima besar kota di dunia dengan tingkat polusi paling tinggi pada jam-jam tertentu.
Berdasarkan data yang diambil dari dua stasiun monitoring kualitas udara di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat milik US Embassy, dapat dilihat bahwa konsentrasi PM 2.5 selama 2 pekan di bulan Juni telah mengalami lonjakan yang signifikan, bahkan melebihi baku mutu ambien nasional yaitu 65 ug/m3 per hari (selama empat hari di Jakarta Selatan). Sedangkan, jika mengacu pada baku mutu ambien WHO, terdapat 12 hari di Jakarta Pusat maupun Jakarta Selatan yang melebihi batas aman selama bulan Juni ini.
Bahkan AQI selama bulan Maret hingga Juni tahun ini lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya dengan jumlah hari sehat nyaris tidak ada. Jika kita bandingkan, dua pekan masa PSBB transisi ini memiliki delapan hari Tidak Sehat di Jakarta Selatan, yang mana sudah dua kali lipat jumlah hari Tidak Sehat pada masa PSBB sebelumnya.
Berdasarkan data di atas, terlihat jelas bahwa kualitas udara selama masa awal bekerja di rumah, masa PSBB diberlakukan dan Masa Transisi konsentrasi PM 2.5 di DKI Jakarta tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Adaptasi kebiasaan baru atau kondisi new normal yang digaungkan pemerintah, hanya terletak pada protokol kesehatannya saja, tapi upaya perbaikan polusi udara dengan menekan dan mengontrol sumber pencemarnya tidak ada yang berubah. Terlebih Ibukota Jakarta sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 493.
Polusi udara sedikitnya meningkatkan risiko kematian dini sebanyak 6,500 jiwa per tahunnya di Indonesia. Menurut WHO, sebuah penelitian mengungkapkan 90 persen populasi di dunia menghirup udara dengan tingkat polusi tinggi. Persoalan polusi udara sudah menjadi krisis kesehatan masyarakat secara global. Sepatutnya ada beberapa langkah yang perlu diambil segera oleh para pengambil kebijakan agar polusi udara dapat ditangani secara terarah dan sistematis, dan bukan hanya membiarkan udara bersih dengan sendirinya akibat pandemi. Dengan begitu, keadaan normal yang lebih baik tentu akan terwujud.
“Pemerintah harus segera melakukan inventarisasi emisi secara berkala agar dapat mengetahui sumber pencemar sebagai dasar ilmiah pengendalian sumber pencemar baik bergerak maupun tidak bergerak, menambah stasiun pemantauan kualitas udara yang bisa mewakili Jakarta secara keseluruhan, memperketat baku mutu udara ambien nasional yang masih tiga kali lebih lemah dibandingkan dengan standar WHO, serta berkoordinasi dengan Pemerintah Jawa Barat dan Banten dalam hal pengendalian polusi udara lintas batas”, tegas Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.