Jakarta (20/06) – ‘Jemput Bola’, menjadi strategi yang disarankan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk peningkatan penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pada situasi pandemi Covid-19. Strategi ini diharapkan dapat dijalankan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) atau kelompok relawan Bersama Jaga Keluarga Kita (BERJARAK) di daerah.
“Kemen PPPA dalam setiap kesempatan mendorong lembaga penyedia layanan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau Pusat Perlindungan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk pro aktif dalam “menjemput bola” kasus KDRT di wilayah mereka. Jemput bola yang dimaksud bukan pasif hanya menunggu laporan datang tetapi menjangkau langsung, tentunya tetap menerapkan protokol kesehatan,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Vennetia R Danes dalam webinar Peningkatan Kapasitas Manajemen Kasus Penanganan KDRT dalam Situasi Pandemi Covid-19 bagi Dinas PPPA/Kelompok Kerja Berjarak di tingkat Kab/Kota Wilayah Indonesia Bagian Tengah.
Vennetia menjelaskan, jumlah kasus KDRT diperkirakan lebih banyak dari pada jumlah kasus yang terdata saat ini. Oleh karena itu, guna memaksimalkan penanganan kasus KDRT, Kemen PPPA melakukan Peningkatan Kapasitas Manajemen Kasus Penanganan KDRT dalam Situasi Pandemi Covid-19 Bagi Dinas PPPA/Kelompok Kerja Berjarak di tingkat Kab/Kota Wilayah Indonesia Bagian Tengah secara daring (19/06).
“Besar dugaan bahwa tingkat KDRT masih sama banyaknya dengan tahun-tahun sebelumnya karena dampak kebijakan Work From Home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membuat perempuan korban kekerasan mungkin kehilangan akses melaporkan kasus KDRT yang dialaminya. Sarana dan prasarana komunikasi serta transportasi tidak mendukung atau pusat penyedia layanan di suatu wilayah tidak berfungsi secara optimal,” tambah Vennetia.
Dalam situasi pandemi Covid-19, adanya himbauan WFH atau bekerja dari rumah kenyataannya dapat menimbulkan masalah baru seperti kekerasan. Kelompok yang rentan mengalami kekerasan adalah perempuan dan anak. Kondisi ini dapat bertambah parah bila diikuti dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak baik, kehilangan mata pencaharian dan terkena pemutusan hubungan kerja.
Psikolog Keluarga, Kurniatin Koswara menjelaskan jika ada dua alasan penyebab KDRT terjadi yaitu adanya ketimpangan relasi dan siklus KDRT. Siklus KDRT ini biasanya paling banyak terjadi pada korban KDRT karena kekerasan yang terjadi pada korban berulang.
“Dimulai dari fase ketegangan yang muncul akibat tensi atau sensitifitas meningkat, komunikasi kurang, dan korban merasa ketakutan. Ketegangan memicu kekerasan berupa kekerasan verbal, psikologis, fisik hingga multi kekerasan. Usai terjadi kekerasan lalu muncul penyesalan, pelaku meminta maaf, memberi alasan dan menyalahkan korban atau mengingkari terjadinya kekerasan. Setelah korban memberi maaf, muncul relasi tenang dan damai oleh pelaku dan korban atau disebut fase bulan madu. Fase ini perlu diwaspadai karena biasanya ketegangan akan kembali muncul tidak lama setelahnya,” jelas Kurniatin.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari KDRT Kemen PPPA, Ali Khasan menuturkan kegiatan Peningkatan Kapasitas Manajemen Penanganan Kasus KDRT diikuti sebanyak 97 orang peserta dari unsur Kepala Dinas PPPA Kab/Kota wilayah Indonesia Bagian Tengah dari 8 provinsi, diantaranya Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Bali, NTB dan NTT.
“Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas kelompok kerja daerah di tingkat Kab/Kota, serta memastikan hak perempuan dan anak terpenuhi, sesuai program Bersama Jaga Keluarga Kita (Berjarak) Kemen PPPA,” terang Ali Khasan.