Industri makanan dan minuman merupakan sektor yang saat ini masuk dalam kategori permintaan tinggi (high demand), meskipun di tengah tekanan dampak pandemi Covid-19. Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian berupaya memastikan kesiapan sektor industri tersebut sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya menjelang Idul Fitri tahun ini.
“Sektor industri makanan dan minuman sudah memiliki kesiapan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Untuk itu, kami akan terus melakukan koordinasi dengan pelaku industri di sektor ini,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim di Jakarta, Sabtu (16/5).
Dirjen Industri Agro menegaskan, pihaknya terus mendorong pengembangan sektor industri makanan dan minuman agar tetap produktif, terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Apalagi, selama ini industri makanan dan minuman mampu memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.
Kemenperin mencatat, pertumbuhan industri makanan dan minuman pada tahun 2019 mencapai 7,78%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan industri nonmigas yang berada di angka 4,34% maupun pertumbuhan industri nasional sebesar 5,02%.
Selain itu, di tahun yang sama, sektor industri makanan dan minuman juga berkontribusi hingga 36,40% pada PDB industri pengolahan nonmigas. “Hal ini menunjukkan pentingnya peran industri makanan dan minuman terhadap pertumbuhan industri dan ekonomi nasional,” ungkap Rochim.
Dirjen Industri Agro menambahkan, pemerintah telah mengeluarkan stimulus ekonomi jilid kedua untuk menjaga agar sektor riil tetap bergerak serta menjaga daya beli masyarakat. Stimulus tersebut berupa stimulus fiskal, yaitu relaksasi PPh pasal 21, PPh pasal 22 impor, PPh pasal 25 dan restitusi PPN, serta stimulus nonfiskal seperti penyederhanaan dan pengurangan lartas impor, terutama dalam rangka pemenuhan bahan baku industri.
Secara khusus terkait dengan fluktuasi harga gula di pasaran, pemerintah telah memberikan penugasan kepada pabrik gula rafinasi untuk dapat memproduksi gula kristal putih (GKP), sehingga harga gula pasir di tingkat konsumsi dapat kembali normal.
Selanjutnya, untuk menjaga keberlangsungan produktivitas industri makanan dan minuman, Kemenperin aktif melakukan monitoring terhadap ketersediaan bahan baku serta stabilitas harga. Terkait dengan pasokan bahan baku, menurut Rochim, pihaknya sudah memfasilitasi agar dapat terserap oleh industri makanan dan minuman di dalam negeri.
“Ketersediaan bahan baku untuk industri makanan minuman seperti gula dan tepung terigu sudah mencukupi kebutuhan dan kami harapkan bahan baku ini dapat diserap oleh industri,” jelasnya.
Lebih lanjut, Kemenperin juga telah berkoordinasi dengan Gabungan Pengusaha Makan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) untuk memastikan stabilitas harga produk di pasaran. “GAPMMI menyampaikan komitmen untuk menjaga stabilitas harga produk makanan dan minuman. Komitmen ini akan terus kami pantau,” tambahnya.
Dalam situasi pandemi Covid-19, Kemenperin terus mengimbau kepada sektor industri yang beroperasi untuk tetap memperhatikan protokol kesehatan. Kemenperin pun terus berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah maupun Kementerian/Lembaga lainnya untuk memastikan keberlangsungan kegiatan industri selama masa kedaruratan kesehatan masyarakat Covid-19. “Kami juga berterima kasih kepada pemerintah daerah atas dukungannya terhadap pelaksanaan industri di daerahnya, serta melakukan pembinaan kepada industri agar terus melaksanakan protokol pencegahan Covid-19,” jelasnya.
Penjualan Online Meningkat
Penjualan produk makanan dan minuman untuk Hari Raya Idul Fitri tahun ini cukup terbantu dengan adanya penjualan yang dilakukan secara online. Berdasarkan data perusahaan e-commerce enabler SIRCLO, peningkatan permintaan yang terjadi pada produk makanan dan minuman (Food&Beverages/F&B) mencapai 143% dari Februari hingga Maret 2020, dan diperkirakan akan terus meningkat.
“Peningkatan penjualan produk makanan dan minuman secara online menunjukan terjadinya pergeseran belanja dari yang semula pembelian langsung di toko ataupun pasar tradisional menjadi berbasis digital yang disebabkan adanya pembatasan aktivitas di luar rumah,” kata Rochim.
Dirjen Industri Agro menjelaskan, dampak dari pandemi Covid-19, membuat konsumen cenderung mengubah perilakunya menjadi mode bertahan hidup dan lebih konservatif. Konsumen menjadi lebih berhati-hati dan lebih ingin berada di dalam rumah daripada keluar untuk melakukan konsumsi.
“Dalam studi yang dirilis Nielsen, sejak diberlakukannya imbauan tinggal di rumah untuk mencegah penyebaran Covid-19, sekitar 30% konsumen merencanakan untuk lebih sering berbelanja secara online,” papar Rochim.
Selanjutnya, dari sisi konsumsi, sebanyak 49% konsumen menjadi lebih sering memasak di rumah. Hal ini mendorong kenaikan pertumbuhan penjualan bahan pokok seperti telur yang naik 26%, daging yang mengalami kenaikan penjualan 19%, permintaan daging unggas naik 25%, serta penjualan buah dan sayur yang meningkat 8%.
“Barang-barang inilah yang sering dibeli oleh masyarakat di pasar tradisional, namun seiring dengan pemberlakuan pembatasan sosial, maka saat ini masyarakat lebih cenderung berbelanja di pasar modern. Penurunan pengunjung di pasar tradisional disiasati oleh pedagang pasar tradisional dengan menawarkan produknya melalui media sosial dan bekerja sama dengan e-commerce,” pungkasnya.