Jakarta, 9 Desember 2019, Kemendikbud — “Dalam batasan estetika. Mari berekspresi dengan bebas,” ajakan tersebut dilontarkan Ketua Penyelenggara Festival Film Indonesia (FFI) Tahun 2019 Lukman Sardi pada pembukaan acara malam anugerah FFI 2019, di Grand Studio Metro TV, Jakarta, Minggu (8/12).
Sebelumnya, Lukman Sardi mengungkapkan kegembiraannya melihat tema-tema film Indonesia yang mewarnai layar bioskop saat ini.
Dilanjutkannya, proses penciptaan film adalah ruang keluarga bagi sineas. Aktor yang beberapa kali memenangkan Piala Citra untuk kategori Pemeran Utama Pria Terbaik FFI ini mengutip perkataan Asrul Sani, “Menonton film adalah perayaan hari raya bersama keluarga. Berarti, membuat film merupakan sebuah perayaan,” ujarnya.
Dari total 123 film yang mendaftar, setelah melalui tiga tahapan, maka terpilihlah sebanyak 38 film unggulan yang terbagi ke dalam 21 nominasi FFI 2019.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid menyampaikan bahwa film produksi sineas Indonesia yang mendapatkan nominasi di FFI 2019 semakin beragam dan meluas. Baik dari genre maupun capaiannya dari sisi komersial.
“Itu tanda yang ditekankan dalam penyelenggaraan FFI kali ini adalah kualitas dan kontribusinya film terhadap budaya Indonesia secara umum,” kata Dirjen Kebudayaan.
Menurut Dirjen Hilmar, partisipasi pembuatan film di Indonesia semakin besar. Pemerintah sadar, bahwa perfilman Indonesia adalah sebuah ekosistem yang besar. Kini, bioskop bukan lagi tempat menonton film. Namun, masyarakat juga dapat menjangkau film melalui berbagai platform over the top (OTT) yang diharapkan semakin terlibat dalam memajukan perfilman nasional. “Sehingga nanti film Indonesia, FFI ini, betul-betul berakar pada perkembangan terbaru,” katanya.
Dirjen Kebudayaan berharap hasil FFI 2019 dapat menjadi tolok ukur bagi para sineas yang berkarya ke depan. “Harapannya kualitas film Indonesia secara umum semakin meningkat,” ujar Hilmar.
Film Kucumbu Tubuh Indahku memborong delapan Piala Citra pada FFI 2019 dalam kategori, antara lain, Penata Busana Terbaik, Penata Artistik Terbaik, Penata Musik Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Sutradara Terbaik, serta Film Cerita Panjang Terbaik.
Produser film Cerita Panjang Terbaik FFI 2019, Kucumbu Tubuh Indahku, Ifa Isfansyah, berharap agar kemenangan film yang mewakili Indonesia dalam ajang Academy Award di Amerika ini dapat menjadi simbol kebebasan dalam berkarya dan berekspresi.
“Semoga semakin banyak film (Indonesia) yang berani mengatasnamakan kemanusiaan, menyuarakan suara yang terpinggirkan, dan menceritakan karakter-karakter yang minoritas,” tegas Ifa Isfansyah.
Sementara itu, Gina S. Noer, mendapatkan dua Piala Citra pada FFI 2019 untuk kategori Penulis Naskah Adaptasi Terbaik bersama Yandy Laurens dalam film Keluarga Cemara. Serta Penulis Naskah Asli Terbaik dalam film Dua Garis Biru.
Kemudian, Muhammad Khan, meraih Piala Citra pertamanya sebagai Pemeran Utama Terbaik untuk debut perannya di layar lebar. Ia memerankan tokoh Juno dalam film Kucumbu Tubuh Indahku yang merupakan debutnya dalam film layar lebar.
Pada malam anugerah Piala Citra Tahun 2019, Aktris senior Ade Irawan mendapatkan anugerah penghargaan pengabdian seumur hidup (Lifetime Achievement Award) pada FFI 2019. Penghargaan ini diterima oleh putrinya, aktris Dewi Irawan dari Jajang C. Noer yang mewakili Komite FFI.
Garin Nugroho akhirnya mendapatkan Piala Citra sebagai Sutradara Terbaik dalam film Kucumbu Tubuh Indahku. Kamila Andini, putri sang sutradara mewakili ayahnya menerima penghargaan. Piala Citra yang diterima Kamila malam ini merupakan buah penantian panjang setelah 38 tahun ayahnya berkarya.
Membacakan pesan Garin Nugroho yang berhalangan hadir, Kamila Andini menyampaikan bahwa menuliskan tema-tema sensitif, tetapi penting bagi terbukanya dialog publik merupakan bentuk kerja yang menjadi bagian dari keseluruhan film ayahnya.
“Penghargaan ini merepresentasikan penghargaan pada keterbukaan ekspresi dalam sejarah sinema Indonesia,” tutur Kamila Andini membacakan pesan Garin Nugroho.
FFI, disebut Garin Nugroho sebagai penghargaan terbaik dari semua penghargaan yang pernah diterimanya. “Karena FFI adalah sejarah film Indonesia dan rumah untuk film Indonesia. Rumah saya sebagai sutradara film Indonesia,” kata Kamila membacakan pesan ayahnya.
“Dan yang membahagiakan saya adalah saya bisa terus mencipta di antara anak-anak muda baru sinema Indonesia dengan beragam karya dan inovasinya,” lanjut Kamila membacakan pesan Garin.
Semangat Baru Perfilman Indonesia
Sutradara muda pemenang Piala Citra untuk kategori Film Cerita Pendek Terbaik FFI 2019, Wregas Bhanuteja, mengungkapkan bahwa renjana (passion) dipadu dengan fasilitas yang makin terjangkau saat ini sangat membantu sineas-sineas pemula untuk berkarya. Sineas pemula harus terus mencoba dan pantang putus asa dalam berkarya. “Jika kita jatuh, bangkit lagi. Jatuh bangkit lagi. Selalu,” pesannya.
Sutradara film pendek terbaik FFI 2019 ini meyakini bahwa kekuatan sebuah film terletak pada ceritanya. Maka, ia berpesan kepada para sineas muda untuk serius menyiapkan cerita. “Langkah pertama tentu saja adalah membuat cerita. Jadi, soul dari sebuah film adalah cerita,” kata sutradara film “Tak Ada Yang Gila di Kota Ini”.
“Luangkan waktu yang cukup, waktu yang banyak untuk riset, untuk kemudian merenung, untuk kemudian mencari referensi, dan kemudian membentuk suatu cerita yang bagus. Ketika suatu cerita yang bagus mau dibentuk seperti apa, nanti bisa fleksibel,” imbuh Wregas.
Penulis naskah pemenang Piala Citra FFI 2019, Gina S. Noer, berpesan kepada sineas pemula untuk selalu bekerja keras, terus memperdalam keterampilan, dan terus belajar. “Pembuatan film yang baik akan terus membuat kita merasa selalu kurang dan kita harus terus belajar,” ujarnya.
Menurut Gina, sebuah naskah film yang baik ditandai dengan rasa kepemilikan oleh semua pihak yang terlibat di dalam produksi film. Naskah yang baik bukan milik penulis skenarionya saja, tetapi milik semua orang yang terlibat dalam produksi film. “Penting sekali untuk semua orang yang terlibat di dalam pembuatan film itu merasa memiliki,” kata penulis naskah sekaligus sutradara Dua Garis Biru ini.
“Saya sebagai penulis skenario, saya sebagai sutradara, saya sebagai produser itu banyak mendengarkan. Film adalah sebuah kerja kolaborasi. Film adalah kerja sama. Itu yang gak boleh hilang,” imbuh Gina.
Bagi aktor terbaik FFI 2019, Muhammad Khan, dunia seni peran memberikannya pelajaran hidup yang sangat penting. “Tugas saya sebagai seorang aktor adalah saya harus bisa melihat manusia itu dari berbagai sisi. Dari situ saya gak boleh ngejudge orang. Itulah tujuan mulia ilmu keaktoran. Belajar memanusiakan manusia,” kata anak pertama dari empat bersaudara ini.
“Ketika peran itu penting untuk disuarakan, saya mau,” kata Muhammad Khan tegas.
Aktor lulusan Institus Seni (ISI) Yogyakarta ini berterima kasih atas dukungan orang tuanya dalam memilih jalan hidup dan pilihan karir. Diakuinya, tidak semua sineas muda atau pemula mendapatkan pemahaman apalagi dukungan dari orang tua masing-masing. Namun, dengan menujukkan kesungguhan dan keteguhan hati, maka diharapkan dapat membuka pintu restu dari orang tua.
“Untuk generasi muda, jangan pernah takut untuk mengambil risiko dalam hidup. Selalu percaya dengan diri kamu sendiri. Dan selalu konsekuen dengan pilihan yang diambil, harus berani bertanggung jawab,” pesan Khan. (*)