Depok (6/12) Peran para Akademisi dan Lembaga Riset dalam pengarusutamaan gender sangat diperlukan agar seluruh sivitas Perguruan Tinggi dapat menjadi perpanjangtangananan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam menjangkau masyarakat luas, terutama melibatkan mahasiswa sebagai agen perubahan serta penerapan Tridharma Perguruan Tinggi dan manajemen kampus yang responsif gender oleh jajaran pimpinan Perguruan Tinggi. Bila kesetaraan gender dapat diwujudkan di Perguruan Tinggi, kesempatan perempuan sebagai pembuat keputusan dan menempati posisi strategis di kampus semakin meningkat dan terhapusnya kekerasan dalam kampus secara tuntas.
“Isu gender di kampus masih banyak mulai dari pelecehan hingga kekerasan seksual, sehingga peran seluruh elemen kampus sangat dibutuhkan untuk menuntaskannya secara maksimal dan serius, terutama pelibatan laki-laki agar lebih responsif terhadap isu-isu gender. Diharapkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia bisa merata peningkatannya,” ungkap Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Agustina Erni dalam Workshop Penguatan Pelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) di Perguruan Tinggi untuk Penerapan Perguruan Tinggi yang Responsif Gender yang diselenggarakan pada 4 – 6 Desember 2019 di Depok.
Dari segi peraturan di tingkat Perguruan Tinggi, Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 6 poin (b) berbunyi bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Kasubdit Pengakuan Kualifikasi, Direktorat Pembelajaran Mahasiswa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dewi Wulandari mengatakan bahwa pendidikan responsif gender adalah perlakuan dalam memberi kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pendidikan. Perguruan Tinggi sedang mengusahakan adanya pengenalan materi tentang gender kepada para mahasiswa sejak awal memasuki kampus atau menyelipkan dalam mata kuliah khusus.
“Pendidikan responsif gender adalah perlakuan dalam memberi kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pendidikan. Perguruan Tinggi sedang mengusahakan adanya pengenalan materi tentang gender kepada para mahasiswa sejak awal memasuki kampus atau menyelipkan dalam mata kuliah khusus,” ucap Dewi Wulandari.
Para sivitas akademisi yang hadir dalam kegiatan ini sangat antusias menanggapi dan mengkritisi isu kesenjangan gender di Perguruan Tinggi bahkan berbagi kisahnya sendiri. “Kesetaraan gender bukan berarti memberikan suatu hak spesial dan dispensasi khusus hanya untuk perempuan, melainkan memberikan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang sama baik perempuan maupun laki-laki,” ungkap salah satu sivitas akademisi Universitas Negeri Yogyakarta, Lies Endarwati.
Beberapa Perguruan Tinggi di Sumatera seperti Universitas Jambi dan Universitas Bengkulu serta beberapa Perguruan Tinggi lainnya sudah mulai mengadakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik OSSOF (One Student Save One Family) agar bisa menjadi agen perubahan di masyarakat yang secara langsung turun untuk meningkatkan kesadaran akan gender serta perlindungan perempuan dan anak, sebagai penerapan Tridharma Perguruan Tinggi.
“Besar harapan kami agar setelah ini semakin terwujud Perguruan Tinggi yang Responsif Gender sehingga kesenjangan gender bisa terhapuskan dan kesetaraan gender bisa terwujud secara maksimal,” tutup Asisten Deputi Partisipasi Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan Kemen PPPA, Maydian Werdiastuti.