Pemerintah Pacu Industri Kimia Jadi Penggerak Ekonomi Nasional

Pemerintah terus mendorong tumbuhnya industri kimia di dalam negeri agar menjadi sektor penggerak perekonomian nasional. Sebab, industri kimia berperan penting dalam memasok kebutuhan bahan baku bagi sektor manufakturnya lainnya seperti industri plastik dan industri tekstil.

“Sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0, industri kimia adalah satu dari lima sektor manufaktur yang sedang mendapatkan prioritas pengembangan agar siap mengimplementasikan industri 4.0,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Sabtu (28/9).

Menperin mengungkapkan, selama ini industri kimia sebagai salah satu sektor yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan devisa. “Contohnya kita lihat dari nilai ekspornya, sepanjang periode Januari-Agustus 2019, kelompok industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia ini telah menyumbang hampir USD9 miliar,” ungkapnya.

Melihat kondisi tersebut, Airlangga menyampaikan, industri kimia kerap kali menjadi tolok ukur tingkat kemajuan bagi suatu negara, selain industri baja. “Tak heran jika keberadaan industri kimia sering menjadi backbone dari sebagian besar sektor industri di dunia,” imbuhnya.

Berdasarkan karakteristiknya, industri kimia dikategorikan sebagai jenis sektor yang padat modal, padat teknologi, dan lahap energi, sehingga perlu langkah pengembangan yang berkesinambungan di antara para stakeholder. “Sektor ini membutuhkan banyak asupan energi, sehingga besar kecil tarifnya sangat berpengaruh terhadap daya saing hingga di sektor hilirnya,” ujar Menperin.

Saat ini, produk-produk petrokimia sebagian sudah mampu diproduksi di dalam negeri, seiring dengan peningkatan investasi. “Beberapa tahun terakhir, pemerintah fokus mendorong investasi besar-besaran di industri petrokimia. Misalnya, di Cilegon sudah ada dua industri petrokimia, yakni Chandra Asri dan Lotte Chemical, yang total nilai investasinya mencapai USD7 miliar,” paparnya.

Di samping itu, bakal ada penambahan penanaman modal dalam pengembangan industri petrokimia di Tanah Air, yang berlokasi di Balongan, Indramayu, Jawa Barat. “Di sana akan ada pembangunan klaster baru hasil kerja sama Pertamina dengan CPC Taiwan. Jadi, nanti ada perusahaan induk dan beberapa perusahaan hilirnya. Total investasinya sekitar USD8 miliar,” tuturnya.

Guna mendongkrak produktivitas dan daya saing industri petrokimia nasional, menurut Airlangga, selain perlu ditopang ketersediaan infrastruktur, juga pasokan energi menjadi vital sebagai bahan baku seperti gas industri. Hal ini mengingat penggunaan gas di sektor industri berkontribusi sangat signifikan dalam struktur biaya industri.

Oleh karena itu, penyesuaian harga gas yang kompetitif perlu dilaksanakan. Selanjutnya, infrastruktur yang dibutuhkan antara lain jaringan transportasi dan pelabuhan, perlunya penguasaan riset dan pemanfaatan teknologi terkini, serta ketersediaan SDM yang kompeten sebagaimana telah ditetapkan dalam strategi implementasi Making Indonesia 4.0.

“Industri kimia diharapkan juga dapat meningkatkan kapasitas produksinya yang berbasis ethylene. Apalagi, kebutuhan plastik terus meningkat, yang saat ini mencapai 5 juta ton per tahun. Nanti yang diproduksi dari Cilegon setelah adanya ekspansi sebesar 3 juta ton per tahun, dan ditambah dari Balongan sebesar 1 juta ton per tahun,” tandasnya.

Dengan jumlah penduduk sekitar 265 juta jiwa dan dukungan sumber daya alam sebagai bahan baku industri petrokimia, baik yang tidak terbarukan maupun terbarukan, Indonesia memiliki peluang sebagai pusat pengembangan industri petrokimia di lingkungan strategis ASEAN dan Asia.

“Kami terus mendorong tumbuhnya klaster yang terintegrasi, seperti di Cilegon, Gresik, dan Bontang. Selanjutnya akan dikembangkan di Bintuni, dan salah satu Kawasan Ekonomi Khusus yang sedang direvitalisasi adalah di Lhokseumawe,” sebutnya.

Indonesia memiliki potensi besar, melalui cadangan total minyak bumi 3,3 miliar barrel, cadangan total gas bumi 135,55 Trillion Standard Cubic Feet (TSCF), dan cadangan total batubara 39,89 miliar ton. Di samping itu, Indonesia juga menjadi produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia dengan produksi 48 juta ton per tahun (68% produksi dunia).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *