NEW YORK (26/9) – Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) Jusuf Kalla (JK) didampingi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebagai delegasi RI menghadiri High Level Panel (HLP) for a Sustainable Ocean Economy yang merupakan rangkaian Sidang Umum PBB ke-74 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Senin (23/9).
Dalam kesempatan itu, JK menyampaikan bahwa saat ini laut tengah menghadapi berbagai tantangan seperti Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing dan dampak perubahan iklim. Padahal, laut berpotensi sebagai sumber kesejahteraan dunia. “Bagi Indonesia, kita tidak punya pilihan lain kecuali menyelamatkan laut kita bersama,” tegasnya.
JK mendorong agar seluruh negara berkoalisi, baik di tingkat regional maupun global, untuk mewujudkan laut yang lebih sehat dan produktif demi kesejahteraan bersama. Ia berharap, koalisi antarnegara yang terbentuk dapat melakukan kebijakan konkret untuk mewujudkan ekonomi kelautan yang berkelanjutan.
“Kita harus menjaga keseimbangan antara mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan melindungi daya dukung ekosistem laut agar sumber daya kelautan dapat berkelanjutan bagi kita semua dan masa generasi mendatang,” ucap JK.
Ia pun menyampaikan 3 (tiga) prioritas yang disoroti Indonesia untuk mengelola laut secara berkelanjutan. “Pertama, kami mendorong aksi global untuk mengatasi sampah plastik di laut. Indonesia, dalam hal ini telah megurangi 20% sampah plastik pada tahun 2019, dari target keseluruhan sebesar 75% pada tahun 2025,” jelas JK di hadapan delegasi 14 negara yang hadir.
Kedua, Indonesia mendorong agar pengelolaan ikan yang berkelanjutan diperkuat. “Komitmen untuk memberantas IUU Fishing dan kejahatan perikanan terorganisir transnasional (TOC) harus dipertegas. Kolaborasi lintas batas yang kuat antara negara-negara ASEAN dan Pasifik adalah sebuah keharusan,” tegas JK.
“Ketiga, kita harus mengarusutamakan laut dalam negosiasi perubahan iklim, termasuk dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC). Indonesia menekankan pentingnya pengelolaan berkelanjutan terhadap mangrove dan lahan gambut,” tambahnya.
Sikap Indonesia merupakan tindak lanjut atas temuan yang mengungkapkan bahwa aksi iklim berbasis laut dapat memainkan peran yang besar untuk mengurangi jejak karbon. Aksi ini dapat mengurangi hingga seperlima (21% atau 11GtCO) emisi gas rumah kaca (GHG) tahunan yang diperlukan pada tahun 2050 untuk menahan peningkatan suhu bumi sebesar 1,5 derajat celcius. Pengurangan ini lebih besar dari emisi tahunan yang dihasilkan seluruh pembangkit listrik tenaga batubara di dunia saat ini.
Temuan ini tertuang dalam laporan ilmiah baru berjudul The Ocean as a Solution for Climate Change: 5 Opportunities for Action yang dipublikasikan oleh HLP dan diluncurkan pada forum UN Secretary General’s Climate Action Summit di Markas Besar PBB, New York, Senin (23/9).
Sebagai informasi, HLP adalah forum kerja sama 14 negara dan pemerintahan yang memiliki kesepakatan untuk menyelamatkan laut. Keempat belas negara tersebut terdiri dari Australia, Kanada, Chili, Fiji, Ghana, Indonesia, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, Norwegia, Palau dan Portugal. Sesuai dengan tujuannya, HLP bertugas memicu, memperkuat, dan mempercepat tindakan untuk perlindungan dan produksi laut dalam kebijakan, tata kelola, dan keuangan.
Menindaklanjuti laporan ilmiah tersebut, HLP mengeluarkan pernyataan untuk mendesak negara-negara melakukan aksi konkret mengatasi perubahan iklim berbasis laut (Call to Ocean-Based Climate Action). Desakan dan laporan ilimiah ini ditujukan untuk memantik komitmen politik, membangun kemitraan bisnis, dan mendorong investasi global yang mengarah pada masa depan dunia yang rendah karbon dan tahan iklim.
Pada bulan Juni 2020, HLP akan menghasilkan tiga produk yakni Blue Papers (Artikel Ilmiah terkait Kelautan), Scientific Synthesis Report (Sintesis dari Laporan Ilmiah di Atas), dan Summary of Recommendations (Ringkasan Rekomendasi).
Blue Papers merupakan 16 artikel ilimiah yang dirangkai oleh ahli-ahli dari berbagai negara. Keenambelas Blue Papers ini mencakup 5 topik utama yaitu produktivitas laut, inovasi untuk pemanfaatan dan perlindungan laut, akuntansi dan finansial laut beserta sumber dayanya, hubungan antara manusia dan laut, serta manajemen dan penegakan hukum di laut.
“Indonesia sendiri berkontribusi penuh pada penyusunan 2 dari 16 Blue Papers ini. Ini menunjukkan komitmen kita dalam upaya mengatasi isu-isu laut dalam cakupan internasional secara lebih luas. Kita ingin sumber daya laut terus ada untuk anak cucu kita di masa depan,” ungkap Menteri Susi.
Kedua Blue Papers dimaksud ialah IUU Fishing and Associated Drivers dan Combating Transnational Organized Crime in Fisheries.
Blue Papers tersebut kemudian akan digunakan untuk membentuk sebuah kompilasi yang berbentuk Scientific Synthesis Report. Pada dasarnya, laporan tersebut akan menggambarkan status kesehatan dan pemanfaatan laut, urgensi untuk melakukan perubahan, potensi yang ada untuk dapat diperbaiki, dan langkah-langkah yang dapat dilakukan. Berangkat dari laporan ini, HLP akan menghasilkan Summary of Recommendations yang disepakati oleh seluruh anggota.
“Rekomendasi kebijakan itu nantinya akan disampaikan kepada banyak negara di dunia dalam UN Ocean Conference ke-2 di Lisbon tahun 2020. Dengan begitu, kontribusi Indonesia terkait pengelolaan laut berkelanjutan yang kita suarakan dalam panel HLP hari ini menjadi sangat penting untuk bisa ditindaklanjuti menjadi aksi global,” terang Menteri Susi.