Warning: mysqli_query(): (HY000/1114): The table '(temporary)' is full in /home/u6998656/public_html/wp-includes/class-wpdb.php on line 2345

NEW YORK (26/9) – Dalam lawatan kerjanya ke New York, Amerika Serikat, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berkesempatan memberikan kuliah umum di New York University, Senin (23/9). Kuliah umum tersebut diikuti puluhan mahasiswa asal Indonesia dan beberapa mahasiswa dari negara lainnya.
Mengusung tema “Indonesia’s Experience in Promoting Sustainable Fisheries and Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing”, Menteri Susi mengawali kuliah umumnya dengan menceritakan keadaan ekspor seafood Indonesia yang mengalami penurunan tajam di awal tahun 2000-an. Sebagai pengusaha yang telah berkecimpung di dunia perikanan hingga 30 tahun, dirinya mengaku merasakan sendiri perubahan tersebut dengan semakin sedikitnya tangkapan nelayan atas komoditas-komoditas perikanan.
Pengalaman dan rekam jejak sebagai pengusaha perikanan ini pula yang membuat dirinya pada tahun 2014 lalu dipilih Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia. “Kelautan dan perikanan sudah menjadi passion saya sejak saya masih kecil karena saya hidup di desa kecil yang dekat dengan pantai,” tutur Menteri Susi.
Diamanahi mengurus kelautan yang merupakan 71 persen dari wilayah Indonesia, dirinya bertekad menyelesaikan persoalan ini. Pasalnya, usaha perikanan merugi karena tidak ada lagi ikan untuk ditangkap. Stok sumber daya ikan menghilang dengan sangat cepat tanpa diketahui penyebabnya.
“Awalnya kita berpikir, kenapa ikannya habis? Mungkin kita menangkapnya terlalu berlebihan, kita mengambil semuanya sehingga ikannya habis,” kenangnya.
Setelah diselidiki, penyebab kemunduran sektor perikanan Indonesia adalah maraknya kapal ikan asing yang melakukan penangkapan ikan di Indonesia sehingga nelayan lokal semakin terpinggirkan.
“Ketika saya menjadi menteri, saya mulai mengumpulkan puzzle-puzzle penyebab kenapa sudah tidak ada lagi ikan di Indonesia. Jadi di tahun 2001, pemerintahan Indonesia mengeluarkan izin bagi kapal perikanan asing untuk melakukan penangkapan ikan ilegal di Indonesia. Jadi tetangga-tetangga atau negara-negara lainnya bisa datang ke Indonesia dan mendaftar dan mengurus perizinan.”
Menurutnya, sebenarnya kegiatan IUU fishing bukanlah hal baru di Indonesia, sudah ada sejak dulu. Namun, semenjak adanya perizinan resmi yang dikeluarkan pemerintah, IUU fishing semakin merajalela.
Presiden Indonesia pun membentuk Satgas 115 yang dikomandoi Menteri Susi beranggotakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Keamanan Laut (Bakamla), TNI Angkatan Laut, Kepolisian Perairan (Polair), dan Kejaksaan Agung. Ribuan kapal berhasil dipukul mundur dan 516 kapal asing dari berbagai negara dan kapal lokal pelaku IUU Fishing ditenggelamkan. Berkat tegasnya upaya pemberantasan IUU fishing yang gencar dilakukan, Indonesia kini telah dikenal dunia sebagai negara yang menakutkan bagi pelaku kejahatan perikanan.
Tak hanya kiprah di negara sendiri, Indonesia juga tergabung dalam kemitraan Pasifik untuk menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan dan memastikan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
“Tapi kita menyadari ada urusan bisnis. Manusia mau mengambil secara ekstraktif, sebanyak mungkin yang mereka bisa dan sesegera mungkin selagi sumber daya alam yang masih ada,” lanjutnya.
Namun pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai upaya untuk memastikan stok perikanan cukup untuk memenuhi kebutuhan protein manusia, tidak hanya masyarakat Indonesia tetapi masyarakat dunia pada umumnya.
“Bagaimanapun berkembangnya teknologi, termasuk perkembangan teknologi akuakultur, pada akhirnya kita tetap butuh sumber daya perikanan yang berkelanjutan karena kegiatan akuakultur pun membutuhkan lautan. 70 persen pakan ikannya (fish meal) berasal dari laut. Untuk menghasilkan panan ikan, kita harus menangkap di laut. Kalau ikan di laut sudah tidak ada lagi, pakan ikan untuk kegiatan akuakultur tersebut juga tidak tersedia,” jelasnya.
Ia pun meyakini, ikan yang hidup liar di laut masih menjadi sumber protein yang termurah dan termudah diakses oleh seluruh makhluk di dunia. Untuk itulah, pemerintah Indonesia melindungi perairan Indonesia dari berbagai kegiatan illegal fishing, baik di daerah teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Namun ternyata, pelaku illegal fishing tetap menemukan jalan untuk berbuat curang.
Tak dapat mengambil ikan dari daerah teritorial dan ZEE Indonesia, mereka melakukan penangkapan ikan dari laut lepas (high seas). Karena belum adanya yuridiksi, setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas. Modusnya, jaring penangkapan ikan diturunkan di laut Indonesia dan penarikan dilakukan dari laut lepas untuk menyamarkan tindakan ilegal mereka.
“Transshipment (bongkar muat di tengah laut) juga banyak terjadi di high seas,” tambah Menteri Susi.
Ia juga menegaskan, berdasarkan pengalaman Indonesia dalam pemberantasan IUU Fishing ditemukan fakta bahwa IUU Fishing bukan hanya kejahatan perikanan, di dalamnya juga terdapat modern slavery (perbudakan), penyelundupan narkoba, penyelundupan hewan dilindungi, dan penyelundupan barang-barang dengan nilai ekonomi tinggi lainnya.
“Dari berbagai kasus penyelundupan yang digagalkan otoritas Indonesia, sebagian besar menggunakan kapal perikanan. Mereka tidak mempunyai dokumen resmi, mereka tidak membayar pajak. Dan ini menjadi tidak adil bagi industri bisnis dalam negeri karena mereka datang tanpa pajak, tanpa biaya impor, tanpa memenuhi kewajiban impor. Ini yang dapat membunuh industri lokal atau perusahaan lokal di Indonesia,” tegasnya.
Untuk itu, Indonesia terus berupaya menggalang dukungan negara-negara dunia membentuk komunitas yang menyetujui menjadikan kejahatan perikanan ini sebagai kejahatan lintas negara yang terorganisir (transnational organized crime).
“Kebanyakan dari kapal yang kami tangkap umumnya memiliki ABK atau kru dari berbagai negara. Ada yang dari Indonesia, Peru, Myanmar, dan lainnya. Mereka beroperasi secara global, tidak hanya menangkap ikan di satu negara, tetapi mereka juga menangkap ikan di berbagai negara. Pasar mereka pun juga pasar global,” paparnya.
Oleh karena itu, menggalang dukungan untuk menjadikan kejahatan perikanan sebagai transnational organized crime menjadi penting. Namun Menteri Susi menyebut, hingga saat ini baru ada 16 negara yang menyatakan dukungan. Indonesia masih membutuhkan lebih banyak lagi dukungan negara lainnya agar kebijakan pemberantasan transnational organized crime di industri perikanan dapat diperkuat.
Tak hanya itu, ia juga menginginkan adanya hak laut (ocean rights) bagi laut lepas. Jika 71 persen dari planet bumi adalah laut, 61 persennya merupakan laut lepas. Jadi sudah sepantasnya laut lepas ini diberikan hak.
“Laut menjadi sumber kehidupan bagi kita semua dan anak cucu kita di masa depan. Manusia memiliki hak, lingkungan juga memiliki hak. Saya berharap, sebelum terlambat, akan ada 1 orang yang mempunyai cukup power memperjuangkan hak laut ini,” tutupnya.