Jakarta (20/9) – Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Tahun 2019 menyebutkan total pengaduan kasus pornografi dan kejahatan online (cyber crime) yang menjerat anak-anak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2016 sebanyak 587 kasus, tahun 2017 sebanyak 608 kasus, dan tahun 2018 naik mencapai 679 kasus. Menanggapi hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah melakukan sejumlah langkah untuk menekan dampak buruk dari permasalahan ini, salah satunya dengan membuat Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA) dan Telepon Sahabat Anak (TeSA).
PISA merupakan layanan yang berfokus pada penyediaan informasi terintegrasi yang dibutuhkan oleh anak-anak, dengan pendekatan pelayanan yang ramah anak. Sedangkan TeSA dikhususkan sebagai media bagi anak untuk dapat secara langsung berpartisipasi dalam mengungkapkan permasalahan, menyampaikan pandangan dan menemukan solusinya.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Kebijakan Informasi Layak Anak, di Hotel Erian, Jakarta yang dilaksanakan pada Jumat (20/09), Lenny N Rosalin Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA menegaskan kedua layanan ini sudah dikembangkan sejak tahun 2016 dengan tujuan anak selaku pemilik peran strategis bangsa benar-benar mendapatkan hak atas informasi yang layak sesuai dengan kapasitasnya, juga memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasinya.
“Terdapat interpretasi yang berbeda antar anak dan orang dewasa dalam melihat dan menangkap sesuatu, sehingga komunikasi informasi harus disesuaikan dengan segmentasi audien yang dituju, dimana dalam hal ini adalah anak,” ujar Lenny.
Sementara itu, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak, Lies Rosdianty mengatakan informasi sendiri dapat menjadi sarana pengembangan diri anak, sehingga kemampuan memilah informasi ini juga menjadi penting tidak hanya bagi penyedia fasilitas, melainkan juga untuk anak itu sendiri. “Sebagai pemangku kebijakan, sudah semestinya kita tidak hanya memberikan fasilitas berupa wadah informasi yang layak, tapi juga perlu mencari cara untuk meningkatkan ketahanan diri anak agar mereka bisa memfilter informasi yang baik bagi dirinya,” tambah Lies.
FGD ini membahas berbagai tantangan dan peluang sebagai dampak pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dari berbagai sudut pandang yang berbeda, termasuk masukan dan pandangan anak-anak yang diwakili oleh peserta dari Forum Anak Kota Depok, Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang. Anak-anak tersebut mengakui bahwa konten pornografi begitu mudahnya mereka dapatkan, bahkan sejak mereka masih SD. Oleh sebab itu, pengawasan dan bimbingan orang tua sangat dibutuhkan agar mereka terhindar dari dampak negatif akibat paparan informasi yang tidak layak anak. Masukan dari peserta yang berasal dari berbagai bidang ini akan dijadikan landasan untuk menyusun bahan kajian standardisasi kebijakan terkait informasi layak anak.
“Pemerintah memang masih memiliki beberapa catatan pengawasan yang harus segera ditindak lanjuti, mulai dari regulasi periklanan yang masih menampilkan konten berbau pornografi, sanksi yang belum menimbulkan efek jera bagi pelaku, hingga pelanggaran-pelanggaran di dunia cyber yang masih berulang. Ini merupakan salah satu langkah kami untuk mengatasi hal tersebut,” ujar Lenny.
Meski begitu dunia cyber juga menawarkan kesempatan bagi mereka yang mampu memanfaatkannya dengan baik, khususnya bagi generasi Z yang sudah mengenal teknologi dan mendapatkan kemudahan akses informasi sejak awal mereka lahir. Tidak sedikit anak-anak yang berprofesi sebagai content creator dan menyebarkan informasi-informasi positif, sampai akhirnya menjadi referensi bagi produsen dalam mengembangkan produk-produknya.