Kab. Sleman (20/9) “Kabupaten Sleman hingga sekarang terus berlari menuju Kabupaten Layak Anak (KLA). Pemerintah Kabupaten terus berjuang untuk penuhi hak kami. Namun bagaimanapun juga, menuju peringkat KLA adalah sebuah proses,” tutur Ketua Forum Anak Daerah (FAD) Kabupaten Sleman, Tsani Nur Aulia di depan para wartawan Media Trip KLA 2019.
Menurut Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin bahwa Kabupaten Sleman telah berusaha untuk memenuhi kelima unsur klaster hak anak, yang meliputi 24 indikator.
“Pemenuhan hak anak atas akta kelahiran, penyediaan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), Puskesmas Ramah Anak (PRA), Sekolah Ramah Anak (SRA) dan Pusat Kreativitas Ramah Anak, serta Pengadilan Ramah Anak merupakan beberapa contoh yang sudah dilakukan Kabupaten Sleman. Hal ini juga didukung dengan banyaknya penghargaan yang diraih oleh Kabupaten Sleman terkait KLA. Namun, semua ini memang masih perlu ditingkatkan dan diharapkan Kabupaten Sleman bisa semakin memperkuat sinergi dengan masyarakat dan dunia usaha demi menuju peringkat tertinggi KLA,” ujar Lenny.
Bupati Sleman, Sri Purnomo sependapat bahwa mempertahankan predikat KLA dengan peringkat Nindya tidaklah cukup, Kabupaten Sleman juga harus meningkatkan upaya tersebut agar meraih predikat tertinggi yaitu sebagai Kabupaten Layak Anak. Di samping itu, hal terpenting adalah agar gaung KLA dapat dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Sleman.
Dalam memenuhi hak anak Klaster 3 terkait Kesehatan dan Kesejahteraan, Kabupaten Sleman telah memiliki 25 puskesmas yang telah mendapatkan predikat Puskesmas Ramah Anak (PRA), salah satunya Puskesmas Seyegan. Semua PRA tersebut menyediakan layanan psikologi. Menurut Sri Purnomo, penyediaan layanan psikologi, baik untuk pasien dewasa dan anak menjadi penting, karena penyakit tidak hanya jasmani, tapi juga mental.
Tidak hanya mengunjungi salah satu Puskesmas Ramah Anak di Kabupaten Sleman, para wartawan Media Trip KLA 2019 juga mengunjungi Gedung Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri Sleman. Pengadilan ini telah mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketika memasuki ruang sidang ramah anak, para awak media disuguhi pemandangan yang berbeda dari ruang sidang pada umumnya.
Di sini, meja hakim sejajar dengan anak yang berkonflik dengan hukum, hakim juga tidak menggunakan tongkat. Tidak hanya didampingi oleh penasehat hukum, anak yang berkonflik dengan hukum juga didampingi oleh orang tua, pekerja sosial, dan Pendamping Kemasyarakatan (PK) Bapas.
“Dalam proses sidang peradilan anak, pelaku atau terdakwa tetap dipanggil dengan sebutan “anak”. Selain untuk menghilangkan pelabelan, agar anak merasa aman dan nyaman menjalani proses persidangan. Namun, selama ini yang terjadi di pengadilan kami, biasanya yang merasa takut dengan proses persidangan adalah korban anak. Maka, mereka kami sediakan ruang teleconference dan kami pisahkan dengan terdakwa agar anak bisa menjalani persidangan dan memberikan keterangan secara leluasa,” tutur salah satu Hakim Anak Pengadilan Negeri Sleman, Adhi Satrija Nugroho.
Adhi menambahkan, proses pengadilan anak harus ditangani oleh hakim anak. Sejauh ini, di Pengadilan Negeri Sleman sudah terdapat 6 hakim anak yang telah mendapatkan sertifikasi dan pelatihan dari psikolog.
Selanjutnya, para wartartawan mengunjungi Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) “Kesengsem” (Keluarga Sejahtera yang Sembada), yang telah meraih penghargaan sebagai PUSPAGA Mandiri Terbaik 2019. Salah satu konselor PUSPAGA Kesengsem, Ari Prasetyo bercerita bahwa selama ini PUSPAGA Kesengsem lebih sering turun ke lapangan memberikan penyuluhan atau pelayanan konseling terkait pra-nikah, tumbuh kembang anak, dan pola asuh anak atau parenting.
Lenny menjelaskan bahwa pembentukan PUSPAGA di tingkat provinsi dan kab/kota dimaksudkan dapat membantu para keluarga melalui layanan konseling dan informasi serta rujukan agar keluarga dapat mengasuh anaknya dengan lebih baik, karena petugas di PUSPAGA adalah tenaga profesional, seperti psikolog yang telah terlatih hak anak. Diharapkan setiap provinsi dan kabupaten/kota minimal memiliki satu PUSPAGA.
Sistem layanan yang diberikan oleh PUSPAGA bersifat preventif. Jika ada pengaduan permasalahan yang mengarah pada kekerasan, maka akan segera dirujuk ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
“Kami merasa suara kami telah didengar. Selain dengan terpenuhinya hak – hak kami di setiap klaster, aspirasi kami juga telah direalisasikan 100% di Musrenbang Kabupaten. Salah satu aspirasi kami adalah Pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA). Ke depan, kami ingin agar pemerintah bisa lebih menggandeng masyarakat, utamanya kaum orang tua. Mari “kembali ke meja makan” agar keluarga, sebagai unit terkecil masyarakat bisa lebih mengerti dan memahami hak anak,” harap Tsani.