Jakarta, 19 September 2019 – Menurut Laporan Kekayaan Global Allianz edisi kesepuluh, yang berisi hasil pengamatan mendalam terhadap aset dan situasi utang rumah tangga di lebih dari 50 negara, aset finansial tahun 2018 di semua negara industri dan berkembang untuk pertama kalinya mengalami penurunan secara serentak.
Secara global, para pemilik tabungan menghadapi kesulitan karena meningkatnya konflik perdagangan antara AS dan Tiongkok, Brexit dan peningkatan ketegangan geopolitik, makin ketatnya kondisi moneter, dan (pengumuman) adanya normalisasi kebijakan keuangan.
Pasar saham pun bereaksi dengan jatuhnya harga ekuitas global sekitar 12% pada tahun 2018, yang merupakan dampak langsung pertumbuhan aset. Aset finansial bruto global untuk rumah tangga[1] turun 0,1% dan bertahan di nilai EUR 172,5 triliun.
“Tentunya ada konsekuensi dari makin meningkatnya ketidakpastian ini”, kata Michael Heise, chief economist Allianz Group.
“Terkoyaknya tatanan ekonomi global yang teratur berdampak buruk bagi akumulasi kekayaan. Jumlah pertumbuhan aset juga menjadi bukti: Perdagangan bukanlah zero-sum game. Sebagaimana yang terjadi tahun lalu, ini antara semua untung atau semua merugi. Proteksionisme agresif tidak akan memunculkan pemenang.”
Indonesia: Aset keuangan bertumbuh, berlawanan dengan tren global
Berkebalikan dengan tren global, aset finansial bruto rumah tangga Indonesia justru naik 5,8% tahun 2018. Akan tetapi, kenaikan ini adalah yang paling kecil sejak krisis finansial tahun 2008, atau setengah dari pertumbuhan tahun sebelumnya, meskipun memang masih yang paling kuat di wilayah ini. Perlambatan semacam ini terjadi di mana-mana. Deposito bank tumbuh 6,1% dengan mencatatkan pertumbuhan terendah dalam dua dekade terakhir. Sekuritas menguat 12,1% setelah menembus 28,2% pada tahun 2017. Selain itu, asuransi dan tabungan pensiun juga akhirnya naik sedikit sebesar 3,1%, yang juga merupakan catatan negatif selama dua dekade terakhir. Di sisi lain, terjadi kenaikan utang sebesar 9,7% sebagai yang tertinggi sejak tahun 2014. Namun, rasio utang rumah tangga tetap stabil pada nilai 16,3%, atau tidak berubah selama lima tahun dan berada di bawah rata-rata regional 52,4% (Asia, tidak termasuk Jepang).
Konvergensi antara negara miskin dan kaya jalan di tempat
Tahun 2018, aset finansial bruto di pasar negara-negara berkembang tidak hanya mengalami penurunan untuk pertama kalinya, tetapi nilai penurunannya yang sebesar -0,4% tetap lebih tinggi daripada di negara-negara industri (-0.1%). Lemahnya pertumbuhan di Tiongkok, yang nilai asetnya jatuh hingga 3,4%, juga berperan penting dalam hal ini. Pasar negara berkembang baru yang pantas diperhitungkan, seperti Meksiko dan Afrika Selatan, juga terpaksa menelan kerugian yang signifikan tahun 2018.
Ini adalah pembalikan tren yang luar biasa. Selama dua dekade terakhir, pertumbuhan aset finansial di wilayah miskin rata-rata 11,2 persen lebih tinggi daripada di wilayah kaya, termasuk pada tahun 2018. Tampak bahwa upaya negara-negara miskin dalam mengejar ketertinggalan tak bermakna akibat timbulnya perselisihan dagang. Negara-negara industri pun tidak mendapatkan keuntungan dari situasi ini. Jepang (-1,2%), Eropa Barat (-0,2%), dan Amerika Utara (-0,3%) harus menghadapi pertumbuhan aset yang negatif.
Asia, tidak termasuk Jepang: Aset finansial menurun sebesar 0,9%
Aset finansial bruto rumah tangga Asia menurun sebanyak 0,9% pada tahun 2018, yang menandai penurunan pertama sejak Krisis Finansial Hebat tahun 2008. Penurunan ini dipicu oleh anjloknya bidang sekuritas, terutama ekuitas dan dana investasi, hingga 14%. Di sisi lain, deposito bank serta asuransi dan tabungan pensiun tumbuh dengan sehat, masing-masing sebesar 8,7% dan 8,2%.
Jika struktur portofolio dianalisis, ada satu tren yang muncul dengan jelas: Seiring dengan makin kompleksnya pasar finansial Asia, jumlah aset yang berada dalam bentuk simpanan bank mengalami penurunan signifikan, yaitu sebesar 46,4% pada akhir 2018, 16 persen di bawah level di awal abad ini. Sejalan dengan hal ini, porsi sekuritas naik dari 20% menjadi 36,2% seiring makin banyaknya rumah tangga yang menginvestasikan tabungan mereka di pasar modal. Namun, porsi asuransi dan tabungan pensiun hanya bernilai 16%, yaitu separuh level global.
“Ini adalah paradoks perilaku menabung”, ujar Michaela Grimm, Senior Economist di Allianz Group dan salah satu penulis laporan ini. “Penduduk negara-negara dan wilayah Asia menua dengan cepat dan banyak orang lebih giat menabung karena skema tabungan pensiun masyarakat di kebanyakan negara dan wilayah itu belum cukup matang atau hanya menyediakan dana pensiun untuk kebutuhan dasar masa tua. Namun, sepertinya mereka enggan memanfaatkan produk-produk yang menawarkan perlindungan yang paling efektif untuk masa tua, yaitu asuransi jiwa dan anuitas. Pemerintah dan industri harus sama-sama mendorong upaya menawarkan solusi menarik di bidang ini. Hal ini juga berfungsi sebagai inisiatif untuk meningkatkan literasi dan aksesibilitas finansial.”
Pertumbuhan utang bertahan pada level tinggi
Secara global, utang rumah tangga naik 5,7% pada tahun 2018, sedikit di bawah tahun sebelumnya yang meraih angka 6,0%, tetapi juga jauh di atas rata-rata tingkat pertumbuhan jangka panjang 3,6%. Meskipun demikian, rasio utang global (utang sebagai persentase PDB) tetap stabil di angka 65,1% berkat pertumbuhan ekonomi yang tetap kuat. Sebagian besar wilayah mengalami perkembangan serupa dalam hal tersebut, tetapi Asia (tidak termasuk Jepang) menjadi pengecualian.
Memang, pertumbuhan mengalami sedikit perlambatan tahun 2018 menjadi 13,8% (2017; 15,7%). Akan tetapi, dalam tiga tahun terakhir saja, rasio utang melejit hampir sepuluh persen menjadi 52,4% terutama dipicu oleh Tiongkok, yang rasio utangnya naik hingga 15 persen menjadi 54,0%.
“Dinamika utang di Asia dan terutama di Tiongkok patut jadi perhatian”, kata Patricia Pelayo Romero, Allianz Group Economist dan salah satu penulis laporan ini. “Utang rumah tangga Tiongkok relatif tinggi, seperti halnya, katakanlah, Jerman dan Italia. Kali terakhir, kenaikan pesat semacam ini terjadi di AS, Spanyol, dan Irlandia, beberapa waktu sebelum krisis finansial melanda. Namun demikian, dibandingkan dengan kebanyakan negara berkembang, tingkat utang di Tiongkok masih jauh lebih rendah. Masih ada waktu untuk menghadapi imbas pembangunan dan menghindari krisis utang.”
Karena kuatnya pertumbuhan utang, aset finansial neto, yaitu selisih antara aset finansial bruto dan utang, menurun tajam di seluruh dunia sebesar 1,9%, menjadi EUR 129,8 triliun di penutupan tahun 2018. Penurunan drastis ini terutama dialami oleh negara-negara berkembang: Aset finansial neto merosot hingga 5,7% (negara-negara industri: -1,1%); Asia (tidak termasuk Jepang) mencatatkan penurunan sebesar 6,0%.
Singapura mengambil alih posisi Jepang
Sebagai akibat dari perlambatan aset dan percepatan pertumbuhan utang, aset finansial neto di Indonesia hanya naik 2,7% pada tahun 2018. Dengan aset finansial neto per kapita sebesar 650 euro, Indonesia naik satu tingkat ke posisi 51 di urutan kekayaan negara (aset finansial per kapita, lihat tabel untuk daftar 20 besar). Di peringkat teratas, AS kembali mengambil alih posisi Swiss, setidaknya berkat menguatnya nilai dolar. Sementara itu, Singapura naik ke peringkat 3, dan untuk pertama kalinya menjadi negara terkaya di Asia. Melihat perubahan dalam daftar peringkat tersebut sejak awal abad ini, secara jangka panjang, kebangkitan Asia pun tak diragukan lagi: Singapura (+13 posisi) sudah pasti menjadi salah satu negaranya, diikuti Taiwan (+10 posisi), serta, dengan mengabaikan kemunduran tahun lalu, Tiongkok (+6 posisi) dan Korea Selatan (+5 posisi). Sebaliknya, prestasi Indonesia layaknya negara-negara Eropa, dengan turun empat peringkat.
Sekadar batu sandungan?
Untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, jumlah populasi kelas ekonomi menengah secara global tidak mengalami pertumbuhan: Pada akhir 2018, ada sekitar 1,04 juta orang yang masuk dalam kategori kelas ekonomi menengah secara global, jumlah yang kurang lebih sama dengan tahun sebelumnya. Dengan latar belakang menyusutnya aset di Tiongkok, tentu saja ini tidak mengejutkan karena hingga sekarang, kemunculan populasi baru kelas ekonomi menengah secara global selalu terkait dengan Tiongkok: Hampir separuh dari kelompok populasi ini berasal dari Tiongkok, demikian halnya dengan 25% populasi global kelas ekonomi atas.
“Masih besar peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara global”, kata Arne Holzhausen, Head of Insurance & Wealth Markets di Allianz Group dan salah satu penulis laporan ini. “Jika negara-negara berpenduduk besar lain, seperti Brasil, Rusia, Indonesia, dan terutama India, ingin mempunyai kekayaan dengan tingkat dan distribusi setara Tiongkok, populasi global kelas ekonomi menengah akan bertambah 350 juta orang dan populasi global kelas ekonomi atas akan bertambah sekitar 200 juta orang. Pada akhir 2018, distribusi kekayaan secara global akan lebih seimbang, dengan 82% total aset finansial neto dimiliki oleh 10% penduduk terkaya di seluruh dunia. Globalisasi dan perdagangan bebas kini bukan lagi suatu hal yang perlu dipertanyakan karena setiap orang berkesempatan meningkatkan kesejahteraannya