JAKARTA (16/9) – Saat ini, kawasan pesisir menjadi pusat ekonomi yang diminati karena dapat menurunkan biaya logistik arus barang melalui jalur laut. Bahkan, 8 dari 10 besar kabupaten/kota dengan PDRB tertinggi berada di pesisir. Pertumbuhan perekonomian tentunya turut meningkatkan kebutuhan lahan untuk pembangunan lanjutan seperti perumahan, kawasan industri baru, jalur transportasi darat, fasilitas bandar udara, fasilitas pelabuhan, dan penunjang lainnya.
Di sisi lain, kebutuhan ruang akibat pertumbuhan ekonomi dihadapkan pada kondisi pantai Indonesia yang mengalami erosi akibat perubahan iklim hingga menyebabkan abrasi pantai di beberapa lokasi mencapai 2-10 meter/tahun.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo menyampaikan bahwa di satu sisi reklamasi sebenarnya dapat menjadi salah satu solusi untuk pengadaan lahan di pesisir dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, reklamasi juga dapat menjadi opsi upaya mitigasi bencana akibat perubahan iklim.
“Tetapi sesuai dengan definisi dalam peraturan perundang-undangan, reklamasi haruslah dipandang sebagai upaya meningkatkan sumberdaya lahan di wilayah pesisir ditinjau dari sudut lingkungan maupun sosial dan ekonomi” ujarnya.
Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Indonesia telah memiliki ketentuan untuk menata pelaksanaan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Walaupun dalam implementasinya, pelaksanaan reklamasi, masih menimbulkan pro dan kontra di antara stakeholders pesisir.
Dari berbagai pro kontra tersebut, pemerintah terus berupaya menyempurnakan sistem dan regulasi sehingga fungsi regulator dapat menjamin keadilan bagi kepentingan masyarakat umum, investasi, dan ekologi dalam pelaksanaan reklamasi. Untuk itu, KKP melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) menyelenggarakan Diskusi Reklamasi Nasional bertajuk “Reklamasi: Kebutuhan atau Keinginan?” di Kantor KKP, Jakarta, Senin (16/9).
Hadir sebagai narasumber Brahmantya Satyamurti Poerwadi (Dirjen PRL KKP), Dr. Alan Frendy Koropitan (IPB), Dr. Yayat Supriyatna (Universitas Trisakti), Dr. Nono Sampono (PT Kapuk Naga Indah), dan Edo Rahman (WALHI Nasional). Turut hadir Dr. Luky Adrianto (IPB) sebagai moderator dalam diskusi tersebut.
Brahmantya mengatakan, pelaksanaan reklamasi harus dapat meningkatkan atau paling tidak mempertahankan nilai manfaat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Oleh karena itu, aspek teknis dalam pelaksanaan reklamasi tidak hanya memberi manfaat secara ekonomi, namun juga bermanfaat bagi aspek sosial (kepentingan umum) dan lingkungan hidup. Prinsip-prinsip itulah yang diadopsi pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24/PERMEN-KP/2019 tentang tata cara pemberian izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan di Wilayah Pesisir dan PPK dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 25/PERMEN-KP/2019 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa reklamasi harus mengedepankan keberpihakan yang dapat menjadi jawaban bagi kesejahteraan masyarakat pesisir. “Reklamasi harus ada keberpihakan apapun pembangunan pesisir (coastal development) yang dilaksanakan di suatu negara. Reklamasi harus mengutamakan aspek equality, no left behind,” tambah Brahmantya.
Sementara itu, perwakilan WALHI Nasional, Edo Rahman, mengingatkan bahwa lokasi rencana reklamasi dan lokasi sumber material yang digunakan untuk pembangunan reklamasi harus bersifat clear and clean dengan kriteria yang lebih rinci.
“Dalam pelaksanaan reklamasi, harus diatur juga tempat dimana sumber material untuk reklamasi itu diambil karena seringkali terdapat masalah dalam hal itu. Jadi, aturan tersebut harus sepaket,” ujar Edo.
Menurut Yayat Supriatna, masih terdapat beberapa kekosongan hukum dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan pembangunan di wilayah pesisir. Akibatnya, beberapa pimpinan daerah pun mengambil kebijakan diskresi sebagai langkah cepat untuk mendorong reklamasi. Oleh karena itu, perlu ada harmoni dan sinergi antar berbagai pihak untuk mengatur pembangunan pesisir.
“Harus ada harmoni dan sinergi dari tingkat koordinatornya yaitu Menteri Lingkungan, Menteri Kelautan, pemerintah tingkat provinsi, serta pemerintah kabupaten/kota,” ucap Yayat. Namun Dirjen PRL menjelaskan, aspek regulasi sebenarnya sudah lengkap, apalagi dengan terbitnya PP Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. Kontroversi yang muncul justru akibat dampak reklamasi yang tidak dikaji lebih akurat atau akibat kurangnya sosialisasi dengan masyarakat sekitar sehingga memunculkan sindrom not in my back yard (NIMBY).
Menutup diskusi, Luky Adrianto selaku moderator menyimpulkan bahwa reklamasi hanya merupakan salah satu perangkat dalam proses pembangunan wilayah pesisir yang harus mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs).
“Secara lebih khusus, pembangunan pesisir harus mengacu pada SDGs 11 yakni membuat pesisir menjadi inklusif, aman, kuat, dan berkelanjutan. Juga pada SDGs 14 yaitu perlindungan dan penggunaan sumber daya kelautan secara berkelanjutan,” tandasnya.