Ini Rahasia SMPN 33 Semarang Menjadi Sekolah Ramah Anak


Warning: mysqli_query(): (HY000/1114): The table '(temporary)' is full in /home/u6998656/public_html/wp-includes/class-wpdb.php on line 2345

Semarang (16/9) “Mas Alfiansyah, apa sih tugas kamu sebagai agen perubahan di sekolah ini?” tanya Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi atau akrab disapa Hendi saat berdialog dengan salah satu anggota agen perubahan SMPN 33 Semarang yang merupakan salah satu sekolah di Semarang yang mendapat predikat Sekolah Ramah Anak (SRA). Alfiansyah menjawab bahwa tugas utamanya sebagai agen perubahan mencegah dan mengingatkan teman-teman mereka agar tidak melakukan perundungan.

Agen Perubahan dan citra “Sekolahku Rumah Keduaku” adalah kunci dan komitmen bagi SMPN 33 Semarang dalam meningkatkan dan mempertahankan predikat SRA.

“Sekolah ini dulunya termasuk sekolah terpencil, namun mengalami perkembangan yang cepat. Oleh karenanya, kami juga memilih kepala sekolah yang memiliki visi dan misi yang maju dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Saya juga orang tua yang memiliki 2 anak yang masih bersekolah. Saya tahu betul, jika mereka tidak nyaman di sekolah, maka mereka tidak akan maksimal dalam menyerap ilmu. Oleh karenanya, citra Sekolahku Rumah Keduaku menjadi penting untuk diwujudkan demi menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi anak-anak kita,” ujar Hendi di tengah kegiatan Media Trip Kota Layak Anak (KLA) 2019.

Elvi Hendrani, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pendidikan, Kreativitas, dan Budaya Kemen PPPA mengatakan bahwa menuju SRA adalah sebuah hijrah hati. Mengapa demikian? Para orang dewasa harus merubah paradigma mereka untuk kepentingan terbaik anak. Semua orang dewasa di SRA menjadi orang tua dan sahabat anak dan bergerak dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, mendidik dengan kasih sayang dan mendekatkan dirinya dengan anak-anak, atau contoh lain adalah penjaga perpustakaan yang harus menyediakan dan menyeleksi buku yang tidak mengandung informasi yg tidak layak bagi anak seperti pornografi, SARA, kekerasan, radikalisme dll; atau penjaga kantin yg dengan sadar hanya menyediakan makanan sehat untuk anak-anak dan warga sekolah lainnya dan banyak hal lagi. Intinya sekolah harus bergerak melakukan upaya perlindungan terhadap semua hal yg membahayakan anak di sekolah. Elvi melanjutkan, melindungi anak harus dilakukan 24 jam. Adanya SRA menunjukan komitmen Kota Semarang sebagai kategori Nindya KLA dalam melindungi sepertiga hidup anak, karena 8 jam seharinya bahkan bisa lebih lama, anak   berada di sekolah, sehingga sekolah harus menjadi tempat yg aman dan nyaman bagi anak. Selama ini anak tidak pernah ditanya apakah mereka merasa nyaman atau tidak di sekolah, dan di SRA justru keamanan dan  kenyamanan anak menjadi tujuan.

Kepala Sekolah SMPN 33 Semarang, Didik Teguh Prihanto mengatakan bahwa Agen Perubahan adalah ikon SMPN 33 Semarang yang telah didukung oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF) untuk mencegah perundungan. Agen Perubahan dipilih oleh seluruh murid dan menghasilkan komitmen untuk mencegah perundungan dan menerapkan disiplin positif. Para guru juga mendorong murid agar selalu mengkomunikasikan permasalahan yang terjadi kepada guru.

Didik melanjutkan, citra Sekolahku Rumah Keduaku merupakan ruh bagi SMPN 33 Semarang agar bisa menjadi wadah bagi murid, guru, pegawai sekolah, orang tua murid dan komunitas lainnya terkait sekolah untuk saling berinteraksi.

Di tempat terpisah, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin selaku koordinator kegiatan Media Trip KLA 2019, menyampaikan bahwa SRA merupakan salah satu dari 24 indikator KLA. Jika sebuah kabupaten/kota ingin menjadi KLA, maka seluruh sekolahnya harus menjadi SRA. Kita harus memastikan bahwa selama anak-anak berada di sekolah, terpenuhi hak-haknya dan terlindungi dari diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *