Hadapi Ketidakpastian Global, ASEAN Harus Lebih Solid


Warning: mysqli_query(): (HY000/1114): The table '(temporary)' is full in /home/u6998656/public_html/wp-includes/class-wpdb.php on line 2345

Jakarta, 2 September 2019 – Di tengah ketidakpastian global saat ini, satu-satunya pilihan ASEAN adalah tetap bekerja sama dan membina hubungan kerja sama agar semakin solid. Hal ini disampaikan Staf Khusus Mendag Bidang Isu-isu Strategis Perdagangan Internasional, Lili Yan Ing dalam acara the 12th ASEAN and Asia Forum (AAF) di Singapura, pada Jumat (29/8). Acara tersebut mengangkat tema “The Sino-American Conflict and ASEAN: Surviving, Transforming, Suceeding”. Dalam paparannya, Lili membahas respons ASEAN dan strategi indonesia di tengah ketidakpastian global.

“ASEAN kini mengalami ketidakpastian baik dari sisi politik maupun ekonomi akibat dari memanasnya hubungan dagang AS-China. Di sisi ekonomi, perang dagang AS-China juga telah mempengaruhi supply chains dan sentimen dunia usaha bahkan menambah kekhawatiran akan adanya kebuntuan melampaui urusan dagang dan teknologi. Di tengah kondisi seperti saat ini, ASEAN tidak memiliki pilihan lain kecuali untuk tetap bersama, tentunya dengan ditopang ekonomi domestik yang kuat,” jelas Lili.

Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Menteri Perdagangan dan Industri Singapura, Chan Chun Sing. Mendag Chan menyampaikan, ASEAN harus mempertahankan sekaligus memperkuat sentralitas sebagai kawasan. Selain itu, ASEAN harus melipatgandakan upaya untuk menjadi mitra ekonomi yang giat dan atraktif.

Menurut Chan, yang menjadi komposisi kunci untuk mewujudkan sentralitas ASEAN adalah koherensi, komitmen, kepercayaan diri, dan konsistensi. Penting untuk negara-negara anggota ASEAN untuk menghindari kebijakan yang populis dan menekan.

Lili juga menyampaikan, masing-masing negara ASEAN meningkatkan kapasitas sektor manufaktur dengan mempertahankan (atau meningkatkan) kontribusi paling sedikit 25 persen dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, 80 persen dari total angkatan kerja di ASEAN adalah lulusan sekolah menengah. Sementara itu, negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan Korea Selatan mempertahan sektor manufaktur lebih dari 20 persen dari PDB karena sektor manufaktur dapat memberikan sumber pendapatan yang relatif stabil bagi mayoritas penduduk dan juga sumber inovasi.

Untuk itu, lanjutnya, perdagangan intraASEAN perlu ditingkatkan dalam meningkatkan economies of scale of production sehingga bisa tap opportunities negara mitra dagang utama di Asia, yaitu China dan India. “ASEAN perlu memanfaatkan potensi ini dengan simplifikasi rules of origin dan streamlining nontariff measures,” jelas Lili dalam pemaparannya.

Di awal paparannya, Lili mengemukankan tantangan perdagangan ekonomi dunia. Pertama, meningkatnya antiglobalisasi. Di kawasan G20, dalam kurun waktu Oktober 2018 hingga Mei 2019, import restrictive measures meningkat 3,5 kali lipat dibanding rata-rata jumlah restrictive measures sejak Mei 2012. Measures tersebut teradapat pada USD 355 miliar perdagangan dunia atau 18,2 persen dari total perdagangan dunia.

Kedua, sistem perdagangan multilateral (multilateral trading system) yang semakin lemah. Bila tidak ada pengangkatan anggota Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) yang baru, maka pada Desember 2019, DSB hanya beranggotakan satu anggota panel dan tidak dapat berfungsi. Ini berarti kita harus bersiap dengan peningkatan perdagangan bilteral dan pejanjian perdagangan bebas di kawasan (regioal FTAs) dalam perdagangan dunia yang dikombinasikan dengan tindakan hukuman sepihak (punitive unilateral actions).

Di samping itu, lanjut Lili, salah satu strategi utama Indonesia untuk mempertahankan ekonominya adalah dengan cara mereformasi agenda perdagangan dan investasi agar lebih terintegrasi dengan perekonomian dunia.

Lili juga menjelaskan, Uni Eropa (UE) adalah aspirasi tetapi bukan contoh acuan bagi ASEAN. ASEAN tidak akan membentuk serikat pabean (custom union) persatuan moneter (Monetary Union) seperti halnya EU karena adanya kesenjangan tingkat pembangunan. “Sebaliknya, ASEAN menjadikan diri sebagai penghubung untuk kegiatan produksi (production hub) yang dapat memberikan kemudahan aliran barang, modal, dan tenaga kerja terampil,” imbuhnya.

Saat yang bersamaan, ASEAN bukanlah suatu kawasan ekonomi yang self contained. ASEAN masih bergantung dari permintaan akhir dari EU dan AS, serta sumber modal dan teknologi dari Jepang dan Korea Selatan. Maka, ASEAN saat ini berkonsentrasi mempererat kerja sama ekonomi di Asia Timur dengan bekerja keras agar Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) dapat selesai secara substansi akhir tahun ini.

“Saat ini Indonesia bersama negara-negara ASEAN, Jepang, China, Korea, India, Australia dan Selandia Baru berupaya keras merampungkan perundingan RCEP di akhir tahun ini. RCEP adalah perjanjian perdagangan terbesar di dunia yang merepresentasikan 50 persen populasi dunia, 30 persen total perdagangan dunia, dan 28 persen investasi asing (FDI) dunia,” ungkap Lili.

Lili juga menyampaikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi sebesar 5,2 persen untuk tahun ini dan 5,3 persen untuk dua tahun ke depan. Angka ini jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang sebesar 4,4 persen. Indonesia akan terus melanjutkan pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor dan investasi.

AAF merupakan forum pertemuan para tokoh politik dan ekonomi dengan menghadirkan kurang lebih 200 pembuat kebijakan dan pelaku usaha di Asia untuk membahas perkembangan ekonomi dan kebijakan perdagangan dan investasi terkini di Asia

Acara yang diselenggarakan Singapore Institute of International Affairs (SIIA) ini bertujuan untuk memahami implikasi ketegangan hubungan AS-China terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *