JAKARTA (10/8) – Sistem pemantauan, pendataan, dan pelaporan Indonesia ke Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) mengalami peningkatan signifikan dibandingkan dengan kunjungan terakhir IOTC ke Indonesia pada semester kedua tahun 2017. Hal tersebut dikemukakan Representatif IOTC, James E. Geehan, pada penutupan kegiatan pemantauan dan asistensi pendataan ikan tuna di Indonesia di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta pada Kamis (8/8).
“Implementasi kebijakan sistem one data, e-logbook, program observer, dan port sampling adalah langkah maju yang dilakukan oleh Indonesia. Saya kagum, hanya dalam 2 tahun sistem ini sudah bisa diterapkan secara elektronik, terintegrasi, dan juga bisa digunakan untuk memantau dan mendata hasil tangkapan dari perikanan skala kecil,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, IOTC adalah salah satu organisasi perikanan tuna regional atau Tuna Regional Fisheries Management Organization (TRFMO) yang mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber daya ikan tuna di perairan Samudera Hindia. Anggota IOTC tidak terbatas pada negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, namun juga negara lain (Distant Water Fishing Nation) yang sudah sejak bertahun-tahun turut menangkap tuna di laut lepas perairan tersebut. Keanggotaan Indonesia dalam IOTC sendiri sudah dimulai sejak 2007.
Kegiatan pemantauan dan asistensi pendataan ikan tuna (IOTC Technical Assistance Mission) dilaksanakan di Indonesia pada tanggal 1-8 Agustus 2019. Secara keseluruhan, misi tersebut dilaksanakan di 21 negara pantai (Coastal State) anggota IOTC untuk mereviu apakah pelaksanakan pemantauan, pengumpulan, dan pelaporan data ke IOTC sudah dilakukan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Selain itu, dalam kegiatan ini diberikan pendampingan dan rekomendasi teknis yang diperlukan agar data perikanan tuna yang disampaikan oleh negara-negara anggota IOTC memiliki tingkat validitas yang baik dan dapat dipergunakan dalam penghitungan stok tuna di IOTC.
Samudera Hindia, khususnya di bagian selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat yang masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 573 dikenal memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah, terutama ikan tuna tongkol dan cakalang.
Secara total, hasil tangkapan kelompok sumber daya ikan tuna dan sejenis tuna Indonesia di Samudera Hindia (WPPNRI 571, 572, dan 573) pada tahun 2017 berjumlah sekitar 336.000 ton, dengan kurang lebih 151.000 ton adalah kelompok tuna.
Hasil tangkapan tuna pada tahun 2018 mengalami peningkatan menjadi sebesar kurang lebih 181.000 ton (catatan: tahun 2018 adalah angka sementara) atau sekitar 18% dari total produksi tuna di IOTC yang sebesar 1 juta ton. Hasil tangkapan ini yang terbesar dibandingkan dengan negara-negara anggota IOTC lainnya.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, M. Zulficar Mochtar menjelaskan, pendampingan kunjungan kerja tim IOTC di Indonesia bertujuan untuk melihat langsung bagaimana cara pengambilan data ikan tuna di lapangan, khususnya pada perikanan skala kecil (small scale fisheries). Perikanan skala kecil ini termasuk perikanan rakyat (artisanal fisheries).
“Tim IOTC melihat langsung di lapangan, bagaimana ikan tuna di Indonesia didaratkan di pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan. Mereka melihat cara pendaratannya dan menilai apakah sistemnya sudah benar dan apakah cara pelaporannya sudah sesuai standar IOTC,” ungkap Zulficar.
Sistem pemantauan dan pendataan yang baik pada perikanan skala kecil ini sangat diperlukan mengingat 67% hasil tangkapan tuna IOTC merupakan hasil tangkapan nelayan skala kecil (small scale fisheries).
Tim ahli IOTC juga akan memberikan rekomendasi teknis berupa metodologi pendataan yang tepat untuk perikanan skala kecil. “Kolaborasi ini akan bagus, apalagi KKP telah menerapkan sistem e-logbook penangkapan ikan,” lanjutnya.
Tim IOTC yang bertandang ke Indonesia berjumlah 3 orang yaitu James E. Geehan, (Statistic and GIS Specialist of IOTC), David A. Feary (Marine Resources Assessment Group IOTC), dan Sachiko Tsuji (Overseas Fisheries Cooperation Foundation Expert of Japan).
Dalam kesempatan ini tim IOTC ini mengunjungi beberapa lokasi pendaratan tuna di Bali, antara lain PP Kedonganan dan PPN Pengambengan serta Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap di Jawa Tengah untuk melihat situasi bongkar ikan dan pendataan ikan
“Kami persilakan tim IOTC untuk meninjau cara pengisian logbook penangkapan ikan yang terkoneksi dalam satu data KKP, melihat aktivitas bongkar ikan tuna kapal >10 GT, melihat dermaga bongkar, dan mengunjungi kios pemasaran ikan untuk melihat hasil perikanan kapal one day fishing),” imbuh Zulficar.
Secara umum tim IOTC puas dengan pencapaian Indonesia dalam 2 tahun terakhir, terutama terhadap peningkatan sistem metodologi dan akurasi pelaporan berbagai jenis data yang dibutuhkan IOTC. Data dimaksud berupa data tangkapan ikan per satu kali penangkapan (CPUE-Catch Per Unit Effort) dari beberapa jenis alat penangkapan ikan dengan menggunakan data logbook elektronik.
IOTC juga menyampaikan sejumlah rekomendasi teknis untuk perbaikan ke depan yang dibutuhkan terkait dengan pemantauan dan pendataan nelayan skala kecil. Rekomendasi teknis tersebut antara lain, agar KKP terus melanjutkan kebijakan one data dengan peningkatan metodologi, khususnya pada proses validasi dengan melibatkan hasil pengolahan data e-logbook, port sampling, serta hasil riset.
Tingkat kepatuhan Indonesia di IOTC pada tahun 2018 lalu sebesar 77%, sama dengan scorekepatuhan Uni Eropa. “Target kita di 2020 adalah sudah di atas 80%,” tandas Zulficar.