Jakarta (04/8) – Hari terakhir rangkaian kegiatan kampanye publik dalam rangka memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia diselenggarakan di Car Free Day bundaran HI, Jakarta. Diawali dengan zumba bersama kemudian dilanjutkan dengan Power Talk bersama dengan perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Solidaritas Perempuan, dan International Organization for Migration (IOM).
Pada kesempatan tersebut, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Destri Handayani mengatakan TPPO merupakan permasalahan kompleks yang tengah kita hadapi. “Dewasa ini modus TPPO semakin berkembang pesat tidak lagi soal tawaran bekerja keluar negeri akan tapi juga tipu daya agar korban bersedia menjadi pengantin pesanan, menerima pekerjaan di industri hiburan dan jasa bahkan iming-iming pendidikan yang lebih baik seperti pertukaran pelajar antar negara,” tambah Destri.
Sementara itu, Ketua Solidaritas Perempuan, Dinda Nuuranisa Yura mengatakan banyak cara yang dapat dilakukan untuk menunjukan kepedulian kita terhadap tindak pidana perdagaan orang. “Salah satu yang paling sederhana melalui talkwhow hari ini. Penyebaran informasi dari mulut ke mulut tentang apa, bagaimana, kemudian pencegahan serta penanganan TPPO akan memberikan dampak yang cukup signifikan. Karena pencegahan TPPO dapat dimulai dari keluarga dan lingkungan sekitar dengan mulai sadar lapor jika ada indikasi perdagangan orang,” ujar Nisa.
Korban kejahatan ini juga beragam, tidak hanya menyasar pada perempuan dewasa, tetapi juga kaum laki-laki dan anak-anak serta remaja. Hal-hal di atas menunjukkan bahwa begitu terorganisir dan besarnya kejahatan ini. National Program Officer IOM, Among Resi menyampaikan berbagai modus TPPO mulai dari pekerja seks komersial, pekerja rumah tangga, pertukaran pelajar ditambah lagi modus baru yang sedang berkembang ialah pengantin pesanan mayoritas korbannya adalah kaum perempuan, namun ternyata kaum laki-laki juga bisa menjadi korban TPPO. Berdasarkan data IOM tercatat dari kurang lebih 9000 kasus yang sudah tertangani 200 diantaranya kaum laki-laki menjadi korban TPPO.
“Siapapun bisa jadi korban TPPO ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang menjadi modus baru perdagangan orang. Oleh karena itu, menjadi penting untuk kita mengetahui dan paham apa itu TPPO, bagaimana pencegahan dan penanganan korban TPPO, dimulai dengan peduli terhadap lingkungan sekitar dan mau melaporkan jika terdapat indikasi TTPO. Jangan merasa ini bukan urusan kita dan ini adalah urusan pribadi tapi ini adalah sebuah tindak pidana,” tutur Nisa.
TPPO terjadi manakala terdapat unsur-unsur proses perekrutan dan penempatan pekerja dengan cara-cara tertentu yang mengakibatkan seseorang tereksploitasi. Pada banyak kasus, korban direkrut dan dipindahkan dari tempat asalnya dengan tawaran pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Tawaran ini juga kerap diiringi dengan pemalsuan dokumen dan/atau penahanan dokumen dengan alasan keamanan dan dapat diterima bekerja dengan baik serta penjeratan hutang dalam proses perekrutan hingga penempatan.
Destri menyampaikan untuk itu penting mengambil upaya menumbuhkan pemahaman dan membangun kesadaran untuk bergerak bersama memerangi kejahatan ini. “Sinergi seluruh eleman mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, LSM, kekuatan sosial media, tokoh masyarakat, terutama kelompok muda “influencer” memiliki peranan penting guna mendukung suksesnya upaya penyebarluasan informasi ini secara besar-besaran. Melalui rangkaian kegiatan ini, masyarakat perkotaan menyadari potensi dan bahaya TPPO di sekitarnya dan diharapkan dapat berkontribusi untuk mencegah agar kejahatan ini tidak terjadi pada dirinya, keluarga dan lingkungannya,” tutup Destri.