
Jakarta, 19 Mei 2019 – Pemilu Serentak 2019 telah memasuki tahap-tahap akhir Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Nasional. KPU RI telah menyelesaikan rekapitulasi nasional 29 Provinsi dan 129 PPLN untuk Pemilu di luar negeri. Tersisa 5 Provinsi yang belum direkapitulasi yakni Sulawesi Selatan, Papua, Sumatera Utara, Maluku, Riau dan 1 PPLN yakni Kuala Lumpur. Rekapitulasi diharapkan dapat selesai pada tanggal 22 Mei 2019.
Dinamika politik cukup tinggi mewarnai proses pemilu sejak pengumuman hasil quick count sejumlah lembaga survei dan sepanjang proses rekapitulasi berjenjang di KPU berlangsung, diantaranya :
- Saling klaim kemenangan antara 2 (dua) pasangan calon yang menimbulkan friksi tajam di kalangan elit dan berimbas perpecahan di masyarakat umum.
- Mengemuka wacana people power yang diserukan oleh tokoh-tokoh dari pihak yang berkeberatan dengan hasil quick count dan hasil rekapitulasi berjenjang KPU. People power dinyatakan sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap kecurangan pemilu yang diyakini terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif dan dinyatakan sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada penyelenggara pemilu dan mekanisme konstitusional yang ada.
- Terjadi aksi-aksi protes yang menuntut Bawaslu RI untuk memproses dugaan pelanggaran yang berujung tuntutan agar KPU dan Bawaslu mendiskualifikasi salah satu pasangan calon karena dinilai telah melakukan kecurangan yang TSM.
- Merebak wacana kekerasan yang dilontarkan oleh penggagas, pelaksana dan peserta aksi misal seruan kepung KPU dan Bawaslu, siap gugur/sahid, penggal leher, jika kita siap musuh lebih siap dan lain-lain yang mengarah kepada ektrimisme dan radikalisme. Diksi-diksi yang digunakan mengesankan seolah pemilu adalah pertempuran habis-habisan antara 2 (dua) musuh, bukan kontestasi dalam proses berdemokrasi.
- Penyebaran info dan berita hoax yang sangat massif dan meresahkan masyarakat. Seringkali informasi hoax berhasil menimbulkan silang pendapat berkepanjangan antara berbagai pihak.
- Terakhir, muncul pernyataan dari salah satu pasangan calon bahwa menolak hasil pemilu yang akan ditetapkan oleh KPU RI dan tidak akan menempuh mekanisme sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) karena adanya ketidakpercayaan kepada MK, serta akan menyerahkan respon terhadap hasil pemilu kepada rakyat.
Pemilu memiliki mekanisme penegakan hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa perselisihan hasil Pemilu sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dilandasi spirit penegakan hukum Pemilu dan menjaga agar proses Pemilu berjalan sesuai konstitusi, kami masyarakat sipil yang bergabung dalam Gerakan untuk Pemilu Damai dan Konstitusional menyerukan :
- Pasangan Calon dan Tim Kampanye/Tim Pemenangan, agar :
- Merujuk kepada hasil Pemilu yang ditetapkan oleh KPU RI sebagai dasar dalam menentukan sikap terhadap hasil Pemilu.
- Menghargai mekanisme hukum yang telah tersedia dalam Konstitusi dan UU Pemilu. Jika menemukan dugaan pelanggaran agar melaporkan ke Bawaslu dan atau ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Apabila berkeberatan/tidak menerima hasil pemilu, dapat menempuh jalur sengketa PHPU ke MK dengan mengajukan bukti-bukti dugaan pelanggaran yang selama ini terwacanakan.
- Semua pihak agar menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi, menghargai konstitusi, menciptakan suasana kondusif menjelang dan setelah penetapan hasil Pemilu dengan tidak melakukan provokasi, ancaman kekerasan dan seruan yang mengarah pada tindakan-tindakan yang inkonstitusional.
- KPU RI agar menyelesaikan proses rekapitulasi nasional sesuai jadwal yakni tanggal 22 Mei 2019 dengan mengedepankan prinsip taat aturan, independensi transparansi proses dan hasil serta akurasi data hasil rekapitulasi. Memperbaiki mekanisme validasi input data pada Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) sesuai keputusan Bawaslu RI Nomor 07/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019 tentang pelanggaran administrasi KPU RI, agar data yang terpublikasi kepada publik melalui SITUNG memiliki validitas dengan tingkat akurasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Bawaslu RI agar mengoptimalkan pengawasan pada tahapan rekapitulasi nasional, mengedepankan prinsip taat hukum, independen dan spirit penegakan hukum Pemilu dalam memproses dugaan pelanggaran pemilu, sesuai tagline Bawaslu: Bersama Rakyat Awasi, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu.
- Masyarakat agar tetap mengawal bersama proses tahapan pemilu, mengedepankan sikap hati-hati dalam menerima informasi/mengecek kebenaran informasi sebelum menyebarkan, tidak mudah terprovokasi oleh politik adu domba, tidak tidak terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan dan langkah-langhah inkonstitusional.
- Mendukung aparat keamanan yakni Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Datasemen Khusus (Densus) 88 untuk bekerja optimal menjaga kondusifitas keamanan pelaksanaan tahapan Pemilu dan memberi rasa aman untuk semua.
Demikian seruan kami sebagai upaya masyarakat sipil untuk mendorong terwujudnya Pemilu yang damai dan konstitusional.
Jakarta, 19 Mei 2019.
Gerakan untuk Pemilu Damai dan Konstitusional
- Sigit Pamungkas dan Hadar Gumay- Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit)
- Bivitri Susanti – Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
- Monica Tanuhandaru dan Wahidah Suaib, Partnership for Governance Reform (KEMITRAAN)
- Titi Anggraini dan M. Fadli Ramadhani- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
- Ferry Kurnia Rizkiyansyah – Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (Presnas JaDI)
- Ray Rangkuti – Lingkar Madani (LIMA) Indonesia
- Dahliah Umar – Network for Indonesian Democratic Society (NETFID)
- Veri Junaidi – Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif
- Jeirry Sumampow – Komite Pemilih Indonesia (Tepi)
- August Mellaz – Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)
- Feri Amsari – Pusat Studi Konstitusi (PuSaKo) Universitas Andalas.
- Muhammad Hanif – Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
- Donal Fariz – Indonesia Corruption Watch (ICW)
- Kaka Suminta – Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)
- Hurriyah dan Delia Widianti- Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI)
- Antoni Putra – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)