Jambi (3/5) – Saat ini, masih banyak masyarakat yang belum memahami kondisi dari anak penyandang disabilitas, sehingga kekerasan dalam bentuk psikis maupun fisik serta diskriminasi seringkali menimpa mereka. Untuk menangani hal tersebut, perlu upaya dalam mengoptimalkan perlindungan anak penyandang disabilitas dengan melibatkan banyak pihak terutama keluarga dan masyarakat, di antaranya melalui gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Pada 2011, BPS melansir data jumlah penyandang disabilitas mencapai 2,45% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 6,3 jiwa. Sejumlah 25 % atau sekitar 1,5 juta anak dari jumlah penyandang disabilitas merupakan kelompok usia anak (SUSENAS, 2018). Angka tersebut menunjukan bahwa anak penyandang disabilitas yang rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi, cukup tinggi jumlahnya.
Untuk itu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melakukan peningkatan kapasitas bagi aktivis PATBM dalam perlindungan anak penyandang disabilitas di Provinsi Jambi hari ini.
“Pada pertemuan ini kami melibatkan aktivis-aktivis PATBM di tingkat desa yang berasal dari 11 Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi untuk melakukan beberapa upaya dalam melindungi anak penyandang disabilitas. Seperti mencegah kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang cara pandang terhadap mereka, mendeteksi dini masalah, mencatat dan melaporkan, serta merespon cepat dan menangani dengan baik kasus di tingkat desa sesuai prosedur yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar dalam paparannya.
Nahar menambahkan, dari 83,4 juta jumlah anak di Indonesia, tidak semua dalam kondisi tumbuh kembang yang baik. Sebagian anak penyandang disabilitas masih ada yang menjadi korban kekerasan dan diskriminasi. Seperti mendapat penolakan di sekolah dan di lingkungan rumah. Bahkan banyak pula yang mengalami hal memprihatinkan yaitu dipasung, ditelantarkan, dieksploitasi secara seksual maupun ekonomi, bullying serta tindak kekerasan lainnya.
“Hal ini merupakan masalah serius di tengah masyarakat yang harus segera kita dampingi dan beri pemahaman. Pemahaman masyarakat sangatlah penting karena jika tidak paham, alih-alih melindungi justru dapat menyebabkan terjadinya kekerasan emosional kepada anak penyandang disabilitas. Kita harus mendorong agar mereka bisa sejajar dengan anak lainnya, mengembangkan potensi mereka, memenuhi hak mereka dan tentunya hal ini sangat tergantung dari peran orangtua dan masyarakat,” ujar Nahar.
Nahar menambahkan, hal yang perlu diperhatikan oleh para aktivis PATBM yaitu agar bisa mengubah pandangan negatif masyarakat terhadap anak penyandang disabilitas menjadi dapat diterima dengan baik. Ia menegaskan pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk melindungi anak penyandang disabilitas, yaitu anak itu sendiri, orangtua, masyarakat, dan negara yang terdiri dari pusat, provinsi, kab/kota, dan desa sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang.
“Kami harap Provinsi dapat memberikan pemahaman kepada kabupaten/kota dan desa melalui PATBM untuk melakukan pencegahan, memberikan layanan serta bisa menularkan ke aktivis lainnya. Saya ingin PATBM tidak hanya menjadi gerakan, namun dapat merespon dan memberikan pelayanan dengan cepat bagi masyarakat, seperti jika ada anak penyandang disabilitas menjadi korban tindak pidana, dapat segera melaporkan kasusnya ke pihak berwenang dan juga dapat merujuk ke pusat-pusat layanan disabilitas. Di sinilah pentingnya memberikan peningkatan kapasitas bagi aktivis,” tegas Nahar.
Pada acara hari ini, hadir pula Pakar Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas sekaligus Analis Kebijakan Biro Perencanaan Kementerian Sosial, Eva Rahim Kasim. Ia menjelaskan secara mendalam terkait apa itu disabilitas dan pentingnya peran keluarga serta masyarakat dalam memberikan persamaan kesempatan (equal opportunity) kepada anak penyandang disabilitas.
“Kesamaan kesempatan (equal opportunity) dapat ditandai dengan beberapa hal, yaitu ada alat bantu yang disediakan bagi anak penyandang disabilitas, adanya pendampingan, tidak adanya hambatan serta menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak penyandang disabilitas,” jelas Eva.
Eva menambahkan bahwa anak penyandang disabilitas juga mempunyai hak yang sama dengan anak lainnya, seperti dalam berinteraksi. “Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam memahami keinginan dan kenyamanan mereka. Perlu kepekaan dan empati dalam memperlakukan mereka. Selain itu perlu adanya forum jejaring orangtua dengan anak disabilitas. Untuk pelayanan diharapkan bersifat satu pintu agar mudah terpantau, melalui PATBM diharapkan bisa membantu hal ini. Selain itu kami harap Jambi secepatnya bisa mengadvokasi Peraturan Daerah khusus terkait penyandang disabilitas,“ pungkas Eva.